Birokrat Menulis, Buku, dan Kakistokrasi

ESAI, ARUSMUDA.COM - Malam terus melaju, Kota Makassar berbalut gelap. Dari lantai 20 Aston Hotel Makassar, aku melongok, menikmati pendar cahaya yang memantul di kaca jendela, warna-warni menguar dari lampu jalan, papan reklame, atau lampu taman di puncak gedung-gedung nan tinggi menjulang.

Sebuah diskusi baru saja dimulai, perbincangan hangat yang diinisiasi oleh Birokrat Menulis -komunitas literasi yang digerakkan para birokrat. Persamuhan ini menghadirkan Dr. Adi Suryadi Culla -akademisi dan pakar politik pemerintahan, bersama Dr. Zainuddin Djaka -birokrat yang juga dosen, sebagai narasumber.

Sebenarnya, aku ikut kegiatan bukan karena subyek yang dibahas adalah birokrasi, dan aku termasuk di dalamnya. Aku ikut karena embel-embel kata menulis di belakang kata birokrat. Bagiku, birokrat yang menulis adalah birokrat langka, apalagi sampai menerbitkan buku.

Meski aku kerap mendengar seruan Joseph Goebbels -propagandis Nazi- bahwa, "Dunia tidak digerakkan oleh propaganda tulisan yang rumit, tapi dunia bergerak cepat oleh agitasi pidato berapi-api," tapi aku tetap merasa bahwa apa yang dilakukan birokrat yang bergabung di sini, adalah luar biasa.

Di tengah sorotan atas aktivitas birokrat yang hanya berputar-putar pada urusan rutin, diperparah dengan kompetensi yang pas-pasan, keberadaan sekelompok birokrat yang mampu berbuat berbeda dengan menulis, terlepas dari apa yang ditulisnya, adalah buah dari keberanian.

Maka ketika di awal perbicangan, Adi menyentak perhatian peserta dengan pernyataan, "Sebenarnya saya berharap ada pemberontakan dalam buku-buku ini," aku merasa bahwa itu adalah tantangan besar bagi komunitas Birokrat Menulis, sebab menulis saja sudah luar biasa, apalagi menulis tentang borok diri sendiri.

Sambil mengacung-acungkan buku 'Politik, Birokrasi, & Kebijakan Publik', salah satu buku karya Andi P. Rukka, pegiat Birokrat Menulis yang ikut dibincang malam itu, Adi menegaskan harapan agar pegiat komunitas Birokrat Menulis bisa menjadikan tulisan sebagai ruang refleksi diri dan oto-kritik.

Salah satu hal yang patut menjadi catatan, meski tak mendapat porsi pembahasan yang besar dalam diskusi kemarin adalah keberadaan lembaga profesi -dalam hal ini Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI), dalam kaitannya dengan pembinaan dan peningkatan kualitas SDM Aparatur.

Aku lalu berpikir, mengapa birokrat tak (berani) membentuk organisasi lain di luar KORPRI sebagai alternatif lembaga profesi bagi birokrat. Toh, saudara (sekandung) KORPRI yang menghimpun para guru, PGRI, sudah mendapatkan saingan, bernama IGI (Ikatan Guru Indonesia).

Dengan kehadiran IGI, pembinaan dan pengembangan kapasitas guru-guru menjadi lebih dinamis bila dibanding ketika PGRI masih menjadi pemegang hegemoni. Bukankah ini juga bisa dicoba dalam konteks KORPRI? Mungkin saja organisasi ini akan berlari kencang dan progresif membina anggota karena ada saingan.

Menariknya, tanpa membebani anggaran negara/daerah, IGI mampu menggelar berbagai pelatihan peningkatan kapasitas, termasuk kemampuan menulis bagi guru-guru anggotanya di seluruh Indonesia. Pelatih yang mereka gunakan, juga adalah anggota sendiri yang telah berpengalaman menulis buku.

Hanya dalam dua tahun, IGI berhasil melatih lebih satu juta guru di seluruh Indonesia untuk peningkatan kapasitas. Khusus kompetensi menulisnya, telah ratusan buku, lahir dari guru-guru IGI melalui program Satu Guru Satu Buku (SaGuSaBu). Tak bisakah ada organisasi profesi pegawai negeri seperti IGI?

Nampaknya peran ini menjadi ruang besar bagi Birokrat Menulis, komunitas ini bisa mengikuti langkah IGI. Sebab bila tak ada yang mencoba mengisinya, jurang yang menganga lebar terkait kapasitas birokrat akan terus terbuka, dan selamanya birokrasi kita dijalankan oleh orang-orang nir-kompeten sebagai buah dari mis-manajemen kepegawaian yang amburadul sejak dari perencanaan.

Perihal pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang tuna kompetensi ini, dalam khutbahnya di St Maries, Oxford pada tahun 1644, Paul Gosnold mengenalkan istilah yang menurut The Washington Post (13/04/2018) merupakan kata kuno yang telah berusia 374 tahun: kakistokrasi (kakistocracy).

Istilah dari bahasa Yunani: kakistos (buruk) dan kratos (pemerintahan) ini, dalam Oxford Dictionary diterjemahkan sebagai pemerintahan orang-orang tak layak dan tak kompeten atau oleh dictionary.cambridge.org diterangkan sebagai pemerintahan yang paling tidak pantas, tidak mampu, atau tidak berpengalaman.

Salah satu gambaran kakistokrasi yang populer dalam sejarah adalah pemerintahan Australia sebagaimana digambarkan John Martineau dalam Letters from Australia (1869) Martineau melukiskan kondisi kakistokrasi salah satunya dengan kualitas layanan publik yang sangat buruk.

Meski diskusi Birokrat Menulis mengangkat tema 'Kinerja Birokrasi dalam Kubangan Politik Praktis', namun pikiranku melanglang buana sampai ke kualitas layanan publik yang buruk sebagaimana disinyalir Martineau, sebab hal ini terkait dengan kinerja birokrasi dan kompetensi birokrat sebagai aktor pemberian layanan publik.

Mampukah Birokrat Menulis memberi secebis asa di tengah indikasi kakistokrasi yang mengintai? Bila melihat optimisme dalam diskusi yang dipandu oleh Editor in Cheif BirokratMenulis.Org, Rudy M. Harahap dan pegiat BirokratMenulis.Org, Mutia Rizal tempo hari, kita tak layak kehilangan harapan.

Apalagi, selain buku Andi P. Rukka, turut diluncurkan dan didiskusikan dua buku dari Nur Ana Sejati, 'ngGedabrus ing Melbourne: Catatan Orang Desa tentang Kota Modern' dan 'Budaya Kinerja: Sebuah Upaya Revitalisasi Akuntabilitas Kinerja Sektor Publik'. Bukankah itu sebagai tanda bahwa harapan itu masih ada?


Muhammad Kasman, S.E., M.Si. Aparatur Sipil Negara di Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan.

Posting Komentar

0 Komentar