Refleksi 3/4 Abad HMI: Jebakan Mediokritas Zona Nyaman dan Konflik Internal


OPINI, ARUSMUDA.COM -
75 tahun yang lalu, Lafran Pane mendeklarasikan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam di dalam sebuah ruang kelas. Pendeklarasiannya mungkin sederhana, tapi gagasan dan buah pikir di balik berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam adalah salah satu gagasan terbaik anak bangsa. Hingga kini himpunan ini ditempati bergumul dan belajar oleh anggota-anggota HMI. 

Salah satu alasan di balik lahirnya himpunan adalah kejenuhan Lafran terhadap kejumudan pemikiran kala itu.  Kejumudan yang menciptakan zona nyaman. Kejumudan yang membosankan. Kejumudan yang berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia karena menciptakan manusia-manusia yang berpikir statis dan hanya menjadi medioker (dibaca: orang yang terjebak dalam mediokritas).

Mediokritas berasal dari bahasa Latin mediocritas yang berarti rata-rata; biasa-biasa saja; begitu-begitu saja. Mediokritas adalah suatu candu. Kaum-kaum medioker terjebak dalam zona nyaman dan menciptakan rasionalisasi hanya untuk mendukung kemalasannya. Bukan hanya berbahaya, tapi mematikan. Meskipun raganya hidup, tapi jiwanya sudah mati karena tidak mampu mempergunakan akalnya sebagaimana mestinya. 

Didirikanlah HMI sebagai solusi atas kejumudan berpikir tersebut. Lahirnya HMI membuktikan bahwa Lafran bukanlah orang yang suka dengan mediokritas. Lafran bukan sosok yang biasa-biasa saja. Lafran adalah sosok penggagas, sosok pembaharu. Beliau mampu menawarkan solusi atas persoalan dan gagasan itu dinikmati hingga hari ini.

Kini, 75 tahun berlalu sejak Lafran mengetuk palu tanda dideklarasikannya HMI. 75 tahun berarti 3/4 abad, dan itu adalah waktu yang tidak singkat. Selama tahun-tahun tersebut, HMI yang digagaskan Lafran telah menjadi bagian dalam pergolakan bangsa Indonesia. Mulai dari awal berdirinya sebagai upaya mempertahankan bangsa Indonesia, hingga saat ini, menjadi poros penempaan pemikiran dan gagasan bagi kaum muda.

Di balik kemegahan tersebut, ada sesuatu yang menarik terjadi dua tahun belakangan. Konflik internal yang berujung pada perpecahan dualisme HMI. Mulai dari Pengurus Besar antara Arya dan Saddam. Efek tersebut ternyata tidak berhenti di Pengurus Besar melainkan memberikan efek domino sampai ke Pengurus Cabang bahkan ada beberapa komisariat yang ikut dualisme. Kata "dualisme" sepertinya sudah menjadi hal lazim saat ini di tubuh HMI. Jika ada keinginan dua belah pihak tidak perlu lagi tabayyun untuk disatukan, lebih baik dibuat mendua. Seperti itu kira-kira, tapi semoga itu tidak menjadi sebuah budaya yang turun temurun.

Dualisme ini berdampak buruk bagi himpunan. Dualisme membawa himpunan dalam jebakan mediokritas. Perkaderan terhambat. Aktivitas himpunan terhambat. Membingungkan juga kan jika ada Basic Training (Bastra) tapi yang bakal buka kegiatannya formatur ketua umum dari kubu mana. Orang-orang hanya fokus dan sibuk pada perseteruan yang hingga kini tak kunjung usai. Jika begini terus, kita hanya akan menghasilkan organisasi yang medioker dan tentunya menghasilkan kader-kader yang medioker. Tentunya mediokritas ini yang tidak disukai oleh ayahanda Lafran Pane.

Saya tidak bermaksud menyinggung pihak manapun dalam tulisan ini. Saya berharap tulisan ini tidak dibalas dengan tulisan, melainkan dengan aksi nyata dari kedua belah pihak yang berseteru. 

Muh. Ilmi Ikhsan Sabur, Master of Training Basic Training Komisariat PNUP Cabang Makassar Timur

Posting Komentar

0 Komentar