Jalan Suci Politik Untuk Pilpres 2019

OPINI, ARUSMUDA.COM - Beberapa hari yang lalu, Kamis 9 Agustus 2018, kita menyaksikan deklarasi calon presiden dan wakil presiden antara pasangan Joko Widodo — KH. Maruf Amin bertarung melawan pasangan Prabowo Subianto — Sandiago Salahudin Uno.

Deklarasi ini dilanjutkan dengan mendaftarkan diri ke kantor KPU pada hari Jumat 10 Agustus 2018, sebagai langkah awal  melengkapi persyaratan secara konstitusional untuk maju pada pilpres 2019 mendatang.

Sebagaimana biasanya, euphoria politik pun kembali meningkat dan deklarasi demi deklarasi pun menggema secara nasional dengan tagar #2019GantiPresiden melawan tagar #Jokowi2Periode.

Keriangan politik diantara dua kubu yang dihasilkan dalam bentuk deklarasi ini, sebenarnya memiliki makna dan tujuan yang sama, yakni ingin mensejahtrakan dan menerapkan keadilan sosial, menjadikan Negara  Indonesia sebagai negara yang berdaulat atas nama rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Tapi parade pertarungan dua kubu ini kelihatannya lebih memetingkan partai politik sebagai salah satu kekuatan pengatur kebijakan negeri ini dari pada menelaah (mentafakuri) situasi kesenjangan sosial yang akut.

Konflik kepentingan antar partai lebih ditonjolkan daripada mengutamakan visi kesejahteraan bersama. Buktinya, kehidupan publik selalu dijajaki dengan begitu banyak tontonan pertarungan politik daripada tontonan telaah kritis lebih jauh, apa sebenarnya masalah yang dihadapi bangsa saat ini. Dengan kata lain, kurangnya pendidikan politik dalam demokrasi kita, menjadikan bangsa ini selalu terbelah dalam konfik kepentingan elit kekuasaan.

Memang semua orang atau kelompok manapun sudah pasti memiliki beragam kepentingan sebagai sifat dasar manusia yang selalu tertanam dalam diri dan kelompok. Namun masalahnya, kepentingan yang tidak ditempatkan pada visi kesejahteraan publik akan menghasilkan adu kuat kelompok atau tengkar politik yang tidak produktif bagi negara.

Kepentingan partai yang lebih diutamakan dari pada kepentingan kesejahteraan sosial, pasti akan menimbulkan ketidakpercayaan publik.

Sokongan kekayaan menggelapkan mata bagi diri yang miskin moral, pasti akan menghidupkan kolektivitas yang korup (kerusakan sosial). Sistem politik kita sampai saat ini masih diukur dengan money politik dibandingkan dengan kekuatan moral pribadi yang berilmu, berwibawa dan berakhlak.

Walaupun pergantian demi pergantian kepemimpinan telah kita lalui, resafle menteri ke menteri telah dilakukan, namun sampai saat ini bangsa kita masih terjerambab pada situasi kesenjangan yang jauh dari kesejahteraan sosial.

Apa mungkin karena energi kita lebih banyak dihabiskan dalam ritual pemilihan pemimpin dan perebutan kekuasaan dari pada menumbuhkan  perhatian kita pada peningkatan aspek yang lain.

Apa mungkin kita teralu sibuk pada pembangunan material (insfrastruktur) dari pada pembangunan mental dan moral diri (pendidikan aklhak).

Apa mungkin kita terlalu banyak menghitung jumlah kemiskinan dan pengangguran dengan rasio dan angka-angka dan lupa pada cara bagaimana menyelesaikan masalahnya.

Pertumbuhan indeks pembangunan lebih tinggi dari pada pertumbuhan kesejahteraan publik. Maka ranah demokrasi-politik kita telah tercabik-cabik oleh kekuatan pemilik modal dalam menumbuhkan demokrasi liberal karena anak bangsa telah kehilangan kekuatan nurani atau visi batinnya dalam mengurus negara.

Padahal negara ini, bukan tidak punya rumusan tentang kesejahteraan atau pola cetak gagasan yang berisi buku berjilid-jilid tentang Indonesia maju dan berdaulat. Bukan tidak punya panutan tokoh-tokoh hebat masa lalu dan masa kini yang siap memimpin bangsa sembari menunjuk jalan keluar dari tepian jurang demokrasi saat ini.

Tetapi apa hendak dikata, ide-gagasan serta figur panutan terbaik bangsa yang hidup ditengah-tengah sistem politik-liberal dan ekonomi-kapitalis menjadi tercemar dan tidak berkembang sama sekali, dan jika dibiarkan terus menerus maka parade politik pemodal yang telah mengatur semua arus pemerintahan nasional akan menelan semuanya.

Maka renungilah bagaimana upaya kebangkitan bangsa ini, mungkin dimulai dari perubahan politik transaksional ke politik subtansial. Fantasi kemajuan Negara yang didengunkan harus terus dikawal dengan kesungguhan, hingga menghasilkan kebijakan yang bertumpu pada kepentingan umum bukan pada kebijakan pencitraan.

Titik tumpunya ada pada seluruh institusi Negara dan partai politik yang terus  berkolaborasi menghasilkan tata kelola pemerintahan yang terbaik bagi masyarakatnya. Jadi, partai politik tidak hanya digunakan sebagai alat menuju kekuasaan, tetapi berupaya menciptakan kader yang visioner dan bermoral, menciptakan transaksi politik yang transparan untuk kemajuan bangsa.

Demikian pula pada kebijakan ekonomi yang selaras dengan gerak penguasaan modal, tidak hanya bertumpu pada beberapa orang saja, tetapi dipastikan terdistribusi secara merata keseluruh rakyat Indonesia.

Maka kata kunci dari kemajuan diatas harus pula didasari oleh kekuatan produksi ilmu pengetahuan. Keberhasilan dan kesejahteraan harus diterpa dengan bingkai produksi pengetahuan lebih banyak. Kerja keras tanpa ilmu pengetahuan akan sia-sia dan politik tanpa ilmu akan kekeringan visi batin dalam berdemokrasi. Akibatnya, diri yang haus kekuasaan akan menempatkan kepemimpinan sebagai kehormatan, dan jauh dari pribadi yang menyerap banyak kearifan pengetahuan dan ahlak terpuji sebagai prinsip hidup.

Gagasan politik yang lahir dari kemiskinan pengetahuan akan melahirkan fragmentasi social atau perpecahan yang mengedepankan kehidupan pribadi yang egoistik dan jauh dari menjejaki berjilid-jilid pustaka pengetahuan, lalu meratapi kehidupan dengan hikmah kebijaksanaan untuk  melahirkan gagasan-gagasan cemerlang  yang lebih mengedepankan kehidupan bersama. 

Karena itu, di tengah percaturan teknologi informasi dan media sosial saat ini, kita disuguhkan berbagai informasi yang penuh sesak, diproses secara instan lalu disebarkan secara viral dan menjadi sandaran bagi kepemimpinan anak bangsa.

Tetapi, tahukah kita bahwa proses kepemimipinan diri dan kepemimpinan sosial tidaklah lahir dari situasi yang instan. Tetapi kepemimpinan itu lahir dari proses perenungan mendalam tentang diri (makrocosmos) dan alam (microkosmos), sebagai entitas yang tak terpisahkan dengan ketekunan dan kesabaran, keberanian dan kesucian batin, kosistensi  dan komitmen moral yang tinggi, serta kejernihan pikiran yang dibingkai dengan keimanan.

Maka untuk saat ini, kepemimpinan nasional harus lahir dari perut pertiwi yang ditempa dengan kekuatan pikiran dan visi batin yang kelak akan memancarkan cahaya keselamatan bersama, bukan keselamatan kelompok tertentu saja. Sebab moral kepemimpinan individu yang kuat akan melahirkan moral social yang kuat pula, mencerminkan persatuan dan keadilan social serta menghilangkan perpecahan, korupsi dan kebodohan.

Maka jadikan proses politik pada pilpres 2019 mendatang, sebagai anak tangga untuk menghasikan gagasan dan kerja-kerja yang berkualitas, semakin lama kerja dalam jalan politik maka semakin menjadikan kita sebagai manusia yang tinggi akhlaknya dan selalu memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan yang maha penyelamat, maha memberi dan berbagi, maha mengetahui, maha pengasih-penyayang dan sebagainya. sebab esensi dari kepemimpinan politik adalah cerminan sifat-sifat kenabian yang mengharap keberkahan diri dan masyarakat pada penguasa semesta kehidupan.

Mahadin Hamran. Pengurus Pemuda Muslimin Indonesia Wilayah Sulawesi Tengah. 

Posting Komentar

0 Komentar