OPINI, ARUSMUDA.COM - Telepon
genggam (ponsel) adalah alat komunikasi modern yang bermanfaat bagi umat
manusia. Tidak hanya sebatas untuk komunikasi tapi ponsel juga dikemas dengan fitur-fitur
aplikasi yang sangat menarik. Tak heran jika banyak khalayak yang rela merogoh
kocek berjuta-juta untuk memenuhi keinginannya dalam hal kepemilikan ponsel canggih.
Berdasarkan
data dari Databoks pada tahun 2017, pengguna
ponsel di Indonesia mencapai 371,4 juta pengguna atau
142 persen dari total populasi 262 juta jiwa. Artinya, rata-rata setiap
penduduk memakai ponsel dalam kesehariannya baik itu saat senggang atau pun
sibuk, jumlah pengguna pun akan terus meningkat karena masifnya
kepemilikan ponsel pintar di Indonesia.
Kemajuan
teknologi membuat masyarakat terpaku dalam ruang lingkup digital world. Kebutuhan
pangan, sandang dan papan sudah tersedia dalam sekali klik melalui ponsel.
Namun sayang, kecanggihan itu menelan mentah-mentah dunia si pengguna.Mungkin
lebih jelas jika kita mengatakan ponsel adalah sahabat terdekat bagi semua
pengguna, dimana ponsel memberikan kesenangan pada hidup yang sepi dan
memberikan kebahagiaan pada jiwa yang mati sosial.
Menurut
Sandjaja (2002 : 1-23), dalam teori-teori behavioral dan cognitif
yang berkembang dari psikologi dan ilmu-ilmu pengetahuan pada diri manusia
secara individual, teori menguraikan tentang cara-cara bagaimana
variabel-variabel proses kognitif dan informasi menyebabkan atau menghasilkan
tingkah laku tertentu.
Seorang
yang telah mengalami kecanduan ponsel pastilah akan berpengaruh pada dirinya
seperti, mulai kurang bergaul dengan teman-temannya karena sibuk dengan teman
hayalannya di dalam ponsel, bahkan tingkah laku yang biasanya ceria dan periang
bisa berubah dalam seketika jika seseorang mengganggu dunia hayalannya. Oleh
karena itu, variabel-variabel penentu yang memegang peranan penting terhadap
perilaku atau bahasa biasanya di luar kontrol dan kesadaran orang tersebut.
Ponsel
dengan tingkat kecanggihan di atas rata-rata
memanjakan pengguna dan memiliki nilai yang sangat tinggi dalam kelangsungan
hidup. Tanpa sadar para pengguna ponsel mulai kecanduan dan mungkin tanpa sadar
kita telah terseret dalam arus yang sama.
Mereka
pasti sering merasa kesepian dan cemas jika tak membawa atau memiliki ponsel, ditambah
ketika kejadian tragis menimpa mereka saat melupakan ponsel padahal mereka
sangat membutuhkannya hanya untuk sebatas upload selfie di tempat yang
memiliki view setingkat 1 juta like. Istilah yang pas untuk
mereka yangmemiliki tingkat kecemasan yang tinggi jika tidak menggunakan ponsel
atau bahkan hanya mengaksesnya disebut nomofobia.
Ponsel
adalah candu bagi penggunannya, banyak yang mengatakan bahwa ponsel sangat
berguna tapi perlu di ketahui bahwa kebergunaan
ponsel ini juga punya batasannya. Ponsel memang memudahkan manusia untuk
berkomunikasi baik itu jarak jauh ataupun dekat, namun jika dilihat dari
kacamata sosial, pengguna tersebut lebih nyaman tidak berkomunikasi
secara langsung karena ponsel telah mewakilinya.
Bukankah
itu sama saja telah menghapuskan tali silaturahmi? Bukan itu
saja, kerap muncul kata ‘silaturahmi online’
yang menegaskan bahwa si pengguna sama sekali tidak memutus silaturahmi,
toh juga bisa silaturahmi lewat ponsel.
Sekali
pakai langsung ketagihan, mungkin itu kiasan yang cocok untuk para pengguna ponsel
saat ini, penggunaan ponsel yang membuat para orang tua cemas dengan
anak-anakanya, bahkan anak-anak saja bisa merasa cemas dengan orang tuanya
dikarenakan waktu yang mereka gunakan terbuang sia-sia hanya untuk menatap
layar ponsel.
Walaupun,
banyak di antara pengguna ponsel yang merasa bahwa
waktu dan energinya tak terbuang sia-sia, nyatanya banyak mengalami masalah
diantaranya gangguan pada mata yang terus menerus menatap layar ponsel,
kurangnya waktu tidur atau pola tidur yang berubah karena terus terjaga demi
memainkan ponsel.
Menggunakan
ponsel saat berkendara yang mampu menimbulkan resiko cedera atau kecelakaan
bahkan nyawa pun bisa melayang begitu saja, dan timbulnya iri dengki dalam
dunia media sosial saat melihat orang lain lebih dari pada dirinya.
Nyatanya
tak ada yang mampu menyandang gelar sebagai pecandu ponsel di dalam
lingkungannya, entah karena mereka belum sepenuhnya dikuasai oleh ponsel atau
mereka bukan lagi pecandu biasa. Pada titik hitam dan kelam membuat para
pecandu atau pun bukan sekalipun, menjunjung tinggi kebanggaan dirinya ketika
lebih memilki ponsel yang berada di tingkat atas. Sehingga, kebanggan yang
begitu diimpikannya bisa memutus satu persatu urat malu mereka, seakan harga
diri senilai dengan merk atau seberapa mahal ponsel anda.
Saran
saya, untuk mengukir masa depan yang lebih memahami arti kehidupan yang
sebenarnya yaitu memperbaiki beberapa aturan dalam sistem ponsel sesuai
dengan tingkat usia seseorang. Mungkin lebih tepatnya, menciptakan ponsel
sesuai usia penggunanya dan yang pasti fitur-fitur dan akses internetnya pun
harus dibatasi bagi usia dibawah 15 tahun.
Ponsel
memanglah sangat membantu kelangsungan hidup kita, memberikan perasaan atau
arti sebuah makna hidup tentang memiliki sebuah alat yang bisa menghancurkan
harga diri kita dalam sekali klik. Canggih atau tidaknya ponsel bukanlah tolak
ukur untuk masuk ke dalam surga. Tapi, seseorang yang berbuat kebaikan dengan
ponselnya bisa mendapat pahala yang mampu memberatkan
timbangan amalnya.
Berikut
cara yang bisa kita lakukan mengatasi kecanduan dalam menggunakan ponsel yaitu
dengan memahami mudharat atau
kerugian apa saja saat kita terus menerus menggunakan ponsel tanpa dibentengi
oleh iman yang kuat. Menjaga diri saat menggunakan ponsel dengan membatasi
untuk tidak terlena begitu saja pada hal yang duniawi atau bisa memberikan maslahat dalam kehidupan kelak di
akhirat.
Kehidupan
ada di tangan Sang Pencipta, pergunakanlah waktumu dengan bijak karena
sebagaimana engkau menjalani hidupmu demikianlah kondisimu tatkala ajal
menjemputmu.
Fahira
Anggareni. Mahasiswa Jurusan Sosiologi FEIS UNM Angkatan 2017.
0 Komentar