OPINI,
ARUSMUDA.COM - Belum lama ini, isu kebangkitan PKI, tetiba menyeruak kembali.
Penyebabnya tak lain adalah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila
(RUU HIP). Kini diusulkan menjadi RUU BPIP. Sejumlah partai dituding sebagai
inisator di balik kehadiran RUU itu. Bangsa pun menjadi ribut karenanya.
Sejumlah aksi penolakan digelar di mana-mana. RUU HIP dianggap kental dengan
rencana untuk menghidupan kembali pikiran-pikiran atau ajaran komunisme di
Indonesia.
Bahkan,
dalam aksinya, salah satu bendera partai menjadi sasaran amuk pembakaran.
Sejumlah ormas Islam marah. Massa mengaum. Aksi yang kemudian dibalas pula
dengan luapan ‘kemarahan’ kader-kader partai tersebut di seluruh Indonesia.
Saya tak
hendak berpretensi untuk mempolemikkan RUU itu. Sebab, bagi saya itu hanyalah
ekses kecil dari problem kenegara-bangsaan kita yang hingga kini belum usai.
Benar bahwa Pancasila adalah ideologi dan falsafah negara-bangsa (nation-state) kita. Itu secara simbolik.
Tetapi sebagai sebuah konstruksi nalar dan kesadaran bersama, hingga kini, pada
sebagian anak bangsa, ia masih relatif problematis.
Fase Ideologis
Perihal
ideologi, telah lama budayawan Kuntowijoyo mengkhawatirkannya. Ia mencurigai
bila problem ini tak terselesaikan, maka Indonesia menghadapi kesulitan untuk
maju. Sejumlah tantangan di era pascamodern (kapitalisme lanjut) membutuhkan kerangka penyelesaian yang lebih
dari sekadar ideologi.
Belum lagi
potensi konflik—atau bahkan disintegrasi—yang
bisa saja disulut oleh ideologi. Kita tahu persis ideologi adalah pedang bermata
dua. Ia bisa menjadi alat pemersatu yang paling kokoh bagi satu kelompok yang
sama. Tetapi juga sekaligus alat membunuh yang paling kejam bagi kelompok yang
berbeda. Dalam konteks ini, ideologi bisa memberi manfaat yang konstruktif,
tetapi juga berpotensi untuk menabur destruksi.
Dalam
catatan sejarah bangsa, konflik dan perang atas nama ideologi bukan tak pernah
terjadi. Bahkan di fase-fase awal pasca kemerdekaan, api perpecahan ideologi
telah menyala hebat. Tahun 1948, di Madiun, Muso melancarkan pemberontakan.
Peristiwa ini kemudian lebih dikenal sebagai Pemberontakan Madiun. Sesuatu yang
kemudian berulang pada tahun 1965—yang
dikenal dengan G30S/PKI—dan sebelumnya juga meledak di masa pra-kemerdekaan,
yakni tahun 1926.
Tahun
1949, S.M. Kartosoewirjo, di Jawa Barat, mendeklarasikan berdirinya Negara
Islam Indonesia (NII). Gerakan ini kemudian meluas hingga ke Pulau Sulawesi,
terutama di wilayah Sulawesi Selatan dengan Kahar Muzakkar sebagai pimpinannya.
Peristiwa-peristiwa
ini menandai apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai fase ketegangan
ideologis. Fase ideologis. Bagaimana ideologi diletakkan sebagai sebuah sistem
keyakinan, doktrin, dan cara pandang, yang kaku di hadapan ideologi yang lain.
Sehingga kemudian acapkali berbenturan satu sama lain.
Nasionalisme
diperlawankan dengan Islam. Nasionalisme diperlawankan dengan
sosialisme-komunisme. Atau sosialisme-komunisme dengan Islam. Era ini adalah
era yang diwarnai dengan diskursus yang begitu tajam soal ideologi. Para tokoh
bangsa saling berbantahan soal ideologi apa yang paling tepat untuk dijadikan
sebagai kompas kehidupan negara-bangsa.
Setelah Itu?
Seusai
mengalami konflik ideologis yang tajam selama bertahun-tahun, kita mau ke mana?
Adalah mustahil, kita terus merawat bopeng pertengkaran ideologis ini
seterusnya. Oleh karena itu, idealnya, ketegangan berbasis ideologis ini, telah
berakhir. Terutama karena dua hal: Pertama,
Indonesia telah memasuki era baru. Era yang sama kita kenal sebagai era
reformasi. Era yang memungkinkan semua ideologi bisa berkontestasi secara
sederajat. Hegemoni satu ideologi yang berkuasa tak ada lagi. Sebaliknya, semua
ideologi bisa bertumbuh dengan sehat di negeri ini.
Kedua, sebelumnya saya telah menyebut, tantangan
Indonesia ke depan semakin beraneka. Kita telah memasuki era kapitalisme
lanjut. Ada yang menamainya sebagai era 4.0. Era ini tak mungkin kita hadapi
dengan cara yang biasa. Juga dengan pendekatan lama itu: ideologis. Kita
membutuhkan kesadaran yang lebih dari sekadar ideologi. Katakanlah itu posideologi.
Nalar
posideologi adalah nalar yang bekerja melampaui ideologi-ideologi yang ada.
Nalar posideologi adalah nalar yang menolak klaim sempit dari ideologi-ideologi
itu. Nalar posideologi adalah nalar yang berani menabrak batas-batas
ideologisnya sendiri, untuk kemudian datang menjenguk ideologi yang lain.
Untuk apa?
Untuk membangun kearifan antar-ideologi. Ini penting. Sebab hanya dengan cara
inilah universalitas yang terkandung pada masing-masing ideologi bisa kita
kenali, untuk kemudian kita majukan bersama. Misalnya, di masa lampau, adalah
kenyataan bahwa Marxisme, sosialisme, ataupun komunisme, memiliki pengaruh yang
amat besar bagi munculnya geliat praksis-perlawanan kaum pribumi—yang rerata adalah muslim-taat—terhadap
kooptasi kaum penjajah di bumi Hindia-Belanda.
Zainul
Munasichin dalam Berebut Kiri:
Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926 menyebut bahwa H.O.S.
Tjokroaminoto dan H. Agus Salim—tentu
saja selain H. Misbach dalam corak yang berbeda—menyaripatikan
gagasan-gagasan sosialis, sembari, di sisi lain, mengurangi bobot Marxisme yang
terkandung di dalamnya. Tjokroaminoto kemudian dikenal dengan tokoh sosialisme
Islam. Ia bahkan menulis buku Islam dan
Sosialisme. Bagi Tjokroaminoto, Sosialisme Islam adalah sosialisme minus
Marxisme (baca hal. ix).
Dari
Tjokroaminoto, kita bisa belajar bagaimana penjumpaannya dengan
ideologi-ideologi lain tak lantas membuat ia silau dan meninggalkan Islam. Ia
tetap kokoh dengan keislamannya. Bahkan berkat perjumpaannya dengan
ideologi-ideologi lain itu, ia kemudian sampai pada kesimpulan bahwa: jauh
sebelum Marxisme hadir, Islam telah datang sebagai obor pembebasan bagi kaum
tertindas (proletar).
Jadi,
dengan kata lain, nalar posideologi bukanlah nalar yang tercerabut dari akar
ideologisnya. Nalar posideologi, sebaliknya, adalah nalar yang bersedia membuka
pintu percakapan dengan ideologi-ideologi yang berbeda dengannya. Nalar
posideologi adalah nalar yang berperetensi untuk melibas prasangka-prasangka
ideologis, yang rentan untuk menyulut konflik dan api peperangan.
Kecurigaan-kecurigaan
berbasis ideologis, seumpama, jika menyelami gagasan-gagasan Marxisme
maka auto kita menjadi komunis, atau jika bersahabat dengan
orang-orang kiri kita terancam terpapar komunisme, adalah kekeliruan-kekeliruan
yang tak perlu terjadi. Ia adalah lawan posideologi.
Pada tahap
selanjutnya, nalar posideologi akan membawa kita pada kesadaran akan urgensi
ilmu pengetahuan untuk dijadikan sebagai panglima dalam menghadapi era
kapitalisme lanjut ini. Era kapitalisme lanjut ini adalah era penguasaan atas
ilmu pengetahuan. Proses industrialisasi telah bergerak amat maju; menuju pada
pencapaian kemajuan teknologi yang tak berbilang—yang itu berporos pada revolusi teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam
konteks ini, ideologi-ideologi yang ada harus siap menghadapinya. Sebut contoh
Islam. Harus ada keberanian untuk mengeksplor teks-teks dasar, doktrin, maupun
nilai-nilai (values) keislamanan
sebagai elan vital bagi suatu bangunan keilmuan yang adaptable dengan
kemajuan zaman. Dengan kata lain, Islam harus diturunkan menjadi ilmu
pengetahuan. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai proses objektivikasi.
Ini
kiranya bermanfaat untuk dilakukan. Ideologi bersifat kaku. Sementara ilmu
pengetahuan bisa berlaku universal. Nilai dan kebenarannya bisa diterima oleh
ideologi manapun secara obyektif. Ilmu pengetahuan tak bisa diklaim sebagai
milik ideologi tertentu. Ia melampaui ideologi-ideologi yang ada.
Juga, ini
penting untuk menghindari agar suatu ideologi tak (selamanya) berhenti sebagai stempel untuk mengutuki kejahatan
ideologi-ideologi yang lain, dari kejauhan, tanpa bisa berkontribusi apa-apa
bagi kemajuan.
Itho Murtadha.
Ketua ICMI Muda Sulawesi Tengah.
NB: Tulisan ini dimuat di SultengRaya
0 Komentar