Posideologi: Musuh Mati, Ideologi Mati

Tanggapan atas Posideologi Itho Murtadha

Tapi ada sesuatu yang khas tentang psikologi kelompok di negeri ini. Begitu bergerombol, tinggal teriak "maling" atau "komunis", tanpa tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target itu akan kena hajar.
~Leila S. Chudori.

OPINI, ARUSMUDA.COM - Entah mengapa, saya merasa pesimis dan kurang begitu percaya kalau ada yang berkata ideologi itu berangkat dari nilai yang absolut. Masing-masing orang memiliki cara pandang terhadap dunia, cara pandang itu sendiri ditentukan oleh nilai yang dianut, itulah ideologi. Murtadha Muthahhari memandang ideologi sebagai hasil (pandangan yang universal) dari pandangan dunia, sedangkan pandangan dunia adalah hasil dari epistemologi (sistem pengetahuan).

Kita sering berkata, ‘Ideologi saya adalah Islam’, lantaran saya memandang dunia ini berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Di lain pihak, kita sering berkata, ‘Orang-orang itu berideologi Kapitalisme’, lantaran cara pandang mereka terhadap dunia berangkat dari paham materialisme, melihat segalanya berdasarkan kalkulasi modal. Komunisme juga berpaham materialistisme, tetapi materi harus terbagi secara merata, tak boleh ada hak individual yang lebih istimewa dari yang lainnya, tak boleh ada monopoli dan penguasaan sepihak. Adapun ateisme atau sikap anti-agama—yang sayang sekali sulit dielakkan—merupakan konsekuensi dari pentingnya materi dan tidak pentingnya Tuhan.

Lalu kita sadar, bahwa kita tak boleh berseteru hanya gara-gara memiliki cara pandang terhadap dunia yang itu sudah pasti berbeda-beda, kita juga perlu menjaga keharmonisan hidup berdampingan di dalam suatu negara. Maka harus ada ideologi negara. Khusus untuk negara kita, yang keragaman etnik, suku, budaya, ras, dan agama sangat kental, Pancasila dianggap menjadi ideologi yang pas untuk mengikat itu semua.

Bayangkan saja, di negara kita ada 6 agama serta kepercayaan lainnya, ada kurang lebih 1.430 suku bangsa dan tentu juga bahasa, dan 300 kelompok etnik (sensus BPS 2010), semuanya bisa hidup berdampingan. Padahal, masing-masing bisa berkata, ‘Sayalah yang paling benar’, sekaligus berarti ‘Di luar saya derajat kebenarannya kurang dari saya’. Tetapi atas nama toleransi ‘Bhinneka tunggal ika’, semua harus menghormati, tak boleh merasa paling benar, yang lain harus diakui membawa kebenaran mereka sendiri-sendiri.

Rupa-rupanya inilah yang dibayangkan para founding feathers kita di sidang BPUPKI, yakni pada saat merumuskan dasar negara, hingga akhirnya beberapa tokoh penting punya piagam Jakarta versi masing-masing—yang kebetulan masing-masing terdiri dari lima sila—yang kemudian mendapati bentuk final sebagai Pancasila.

Akhirnya, Pancasilapun dipertanyakan; apakah Pancasila adalah sebuah ideologi? Bukankah Pancasila dirumuskan sekadar sebagai pengikat unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat? Kitakan sudah punya agama yang bisa dijadikan ideologi, malah lebih lengkap, lantas apakah kita harus lebih memeluk pancasila ketimbang agama?

‘Tidak’, kata sebagian orang, Pancasila itu ideologi negara, yang lain adalah ideologi individu. Orang lain tak paham. Dahulu Pancasila dipaksakan menjadi ideologi tunggal melalui paket UU Keormasan tahun 1985, orang-orang menjadi heran mengapa menolak Pancasila? Di lain pihak mempertanyakan ‘jika agama tak bertentangan dengan Pancasila’, lantas mengapa harus memaksakan orang berideologi Pancasila?

Jawabannya: ternyata Pancasila punya musuh. Mereka adalah Islamisme (Masyumi) dan Komunisme (PKI). Kedua ideologi yang masing-masing diusung partai itu memang sudah dibunuh duluan dengan cara pembubaran partai. Tetapi benih-benih ideologi itu yang alih-alih mengancam Pancasila, ternyata justeru dikhawatirkan muncul kembali mengancam kekuasaan lantaran kritisnya, dikhawatirkan akan muncul kembali.

Lihat saja, Pancasila tidak dibela mati-matian kecuali ada isu-isu kebangkitan lawannya: PKI dan Islamisme (Islam Radikal). Kalau kita tidak sedang membicarakan PKI dan Islamisme, Pancasila juga akan dilupakan. Bukankah begitu kenyataannya?

Bukan hanya Pancasila, apapun yang dijadikan sebagai ideologi ternyata tak lagi dianggap ideologi jika musuhnya sudah mati, ataukah musuhnya tak lagi dianggap sebagai ancaman yang serius. Komunisme runtuh lantaran Kapitalisme bukan lagi ancaman yang serius. Malah Kapitalisme sudah harus dipeluk karena ternyata menghargai hak-hak individu, yang berarti demokratis.

Islamisme nyaris mati, ketika Abdul Karim-Soroush tampil sebagai tokoh Post-Islamisme mengkritisi sistem pemerintahan Islam di Iran, dan juga Fethullah Gullen yang mengusik-usik Islamisme yang dilegitimasi kekuasaan di Turki. Saat rezim pro barat berhasil ditumbangkan dan digantikan dengan sistem Islam, sistem itu sendiri ternyata menjenuhkan, orang-orang memandang Islam tak lagi perlu dijadikan ideologi. Toh juga saat sistem Islam dipraktekkan di suatu negara, keadilan dan kebebasan tidak juga jauh berbeda dari yang sebelum-sebelumnya.

Islam dijadikan ideologi hanya ketika punya musuh; rezim pro kapitalis dan kolonialis, kebebasan beribadah dikekang, serta diskriminasi agama (terhadap Islam). Tapi coba saja berikan kesejahteraan, keadilan, kenyamanan, dan segala hal yang menentramkan, otomatis Islamisme atau ideologi Islam itu mati. Sebaliknya, Islam hanya digunakan untuk identitas dan untuk ibadah, sekadar untuk menerangkan bahwa saya beriman. Tanpa bercita-cita untuk membangun agenda pembebasan, misi profetik atau misi kenabian.

Komunisme dijadikan sebagai ideologi lantaran punya musuh yang bernama kolonialisme. Komunisme di Soviet digunakan untuk melawan Tsar. Komunisme di Indonesia (PKI) digunakan untuk melawan kolonialisme Hindia-Belanda. Perkawinan Islam dengan Sosialisme (bahkan Komunisme) —yang melahirkan tokoh semacam HOS Tjokroaminoto, Semaun, Haji Agus Salim, hingga Haji Misbach—juga digunakan untuk mengusir penjajah.

Setelah itu mati, tak ada lagi. Adapun komunisme di Cina, bukan lagi sebagai ideologi, melainkan sebagai identitas belaka, kalau bukan salah satu cirinya saja yang melekat—anti agama. Cina sendiri sudah memeluk ideologi Kapitalisme, cara pandang Cina bukan lagi kesetaraan kelas dalam kontrol suatu negara, melainkan memandang kekuatan ekonomi, militer, dan teknologi sebagai modal besar untuk menguasai dunia—apa itu bukan kapitalis, dan bukankah itu tidak lagi komunis?

Kapitalisme sepertinya adalah pengecualian, ideologi yang satu ini sulit dibunuh. Saya, entah mengapa cenderung sepakat dengan Fukuyama, bahwa Kapitalisme adalah ideologi yang menang di akhir sejarah, meski saya benci pendapat ini. Sekarang, coba kita tak usah malu-malu untuk mengakui, siapa yang tak menjadi kapitalis sekarang ini?

Tak usahlah kita jauh-jauh mengambil contoh tentang kematian ideologi, dunia mahasiswa saja yang dulunya kita kenal menjadi sarang percaturan ideologi kini tak lagi ideologis, semuanya sudah pragmatis. Musuh ideologi yang dulunya dilawan itu sudah mati semua, ideologinya juga akhirnya mati.

Bukan mati, melainkan pindah ke kapitalisme. Kapitalisme dulu menjadi musuh bersama, kini dipeluk beramai-ramai. Peduli setan orang lain di luar sana hidup menjadi setengah manusia atau setengah setan, asalkan kebutuhan saya terpenuhi. Eits, jangan salah, sebagai seorang mahasiswa saya tetap melakukan pergerakan, hanya saja mungkin saya perlu pandai dan cepat bersyukur jika gerakan saya sudah didokumentasikan dan disebar ke media sosial.

Saya begitu yakin dengan ini. Lihatlah, orang-orang itu berteriak ‘Lawan PKI, ganyang PKI!’, saya katakan, ‘Ok, silakan saja’. Hanya saja, apakah yang kalian maksud PKI itu sudah tepat adalah PKI yang harusnya dilawan? Sebab dulu, begitu banyak rakyat kita (hampir sebagian besar) yang bergabung di PKI, tetapi tak ikut-ikut memberontak. Kehidupan mereka sama dengan kita yang orang baik ini, namun mereka juga harus ikut-ikutan ditangkap (sebagiannya hilang dan mati) hanya karena mereka terdaftar sebagai anggota PKI, walau tidak pernah terbukti punya keterlibatan pergerakan Aidit dkk. di pusat.

Belum ada yang bisa mengungkap, simpang siurnya isu pemberontakan PKI; antara rekayasa ataukah kebenaran. Serta D.N. Aidit yang melakukan pemberontakan di pusat, saya tidak tertarik untuk membahas itu. Kalaupun benar, itu skalanya pada tingkat pusat. Tetapi bagaimana dengan yang di daerah-daerah yang tak tahu apa-apa? Bahkan yang hanya punya hubungan baik dengan anggota PKI harus dituduh PKI—sekalian dengan konsekuensinya—lantaran gerakan CC PKI pusat.

Mungkin kita perlu membaca ‘Tahun yang Tak Pernah Berakhir’, yaitu kumpulan esai lisan pengakuan eks Tapol yang dituduh PKI, dan mungkin juga perlu sedikit menemukan gambarannya dalam novel realis ‘Pulang’ karya Leila S. Chudori. Supaya bisa membuka kembali file-file sejarah di masa lalu, yakni sejarah pertarungan ideologi di negara kita.

Bukannya mau membela PKI, itu hanya sebagai contoh bagaimana kita itu sebenarnya gamang diombang-ambingkan oleh pelbagai isu lantaran kurang matangnya ideologi yang dianut, apalagi sebagai mahasiswa. Juga ketidakmampuan mengenal ideologi yang ada, lantas menggeneralisirnya menjadi simpang kembar seribu.
*
Sewaktu masih berstatus mahasiswa (S1) dan aktif di salah satu organisasi ekstra kampus (HMI-MPO), saya itu sering dimandikan dengan kajian ideologi oleh senior-senior saya. Sayang, seiring waktu yang membawa saya sampai kini, semakin pula saya lupa pada detail-detail ideologi yang dijelaskan oleh senior-senior saya itu. Memang dulu itu lagi musimnya kajian ideologi, sekarang tidak.

Murtadha Muthahhari, membagi tiga ideologi besar dunia, yakni Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Sebenarnya cukup dua saja, yakni Islam dan materialisme, sebab Kapitalisme dan Sosialisme berasal dari rahim yang sama, yakni materialisme. Itu berdasarkan kriteria yang ia tetapkan; punya konsep ketuhanan, punya pandangan tentang kemanusiaan, kealaman, punya banyak pengikut, universal ... (selebihnya saya lupa).

Seorang teman yang kini sudah menjadi akademisi, membantah Muthahhari (sayang ia tak memiliki naskah publikasi resmi terkait tema ini) dengan memasukkan Liberalisme sebagai ideologi. Kata teman saya itu, Liberalisme juga dijadikan worldview sebagian kalangan, dan itu cukup membuktikan bahwa Liberalisme itu universal dan banyak pengikut, memenuhi syarat disebut sebagai ideologi.

Bahkan Gus Muh (Muhidin M. Dahlan) menuliskan ‘Ideologi Saya Adalah Pramis’ di sampul buku kumpulan esainya tentang eyang Pram (Pramoedya Ananta Toer). Pramis sebuah ideologi? Dalam buku itu Gus Muh menegaskan, Pramis yang dimaksud bukanlah para pengagum Pram, melainkan habitus Pram, serta cara kita memandang dunia dari kaca mata Pram.

Kita tahu bahwa Pram itu kerjanya membaca menulis, mengkliping, mengarsip, dan beberapa hal yang berkaitan dengan buku. Menulis adalah cara Pram melawan, itu semacam tindakan strategis yang diambil berdasarkan tuntutan ideologi. Lalu jika ideologi Gus Muh adalah Pramis, Pram sendiri berideologi apa?

Kita barangkali bisa sedikit melacaknya dari Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), roman sejarah yang menjadi master-piecenya itu. Pram memosisikan diri sebagai aku, yang dalam roman itu bernama ‘Minke’. Dari kronologi cerita serta watak sang tokoh, orang-orang menebak, bahwa Minke yang dimaksud Pram tak lain dan tak bukan adalah Tirto Adhi Soerjo (yang dijadikan ikon Tirto.ID), tokoh yang tak banyak dikenal oleh anak bangsa ini, pendiri Medan Prijaji, bapak pers Indonesia.

Aneh sekali, Minke yang orang abangan itu, melawan tak cukup hanya tulisan, tetapi juga dengan turut membentuk Sjarikat Dagang Islam, organisasi massa yang kemudian bermetamorfosa menjadi Syarikat Islam (Indonesia) itu—dan dulunya adalah partai PSII.

Lalu, apakah ideologi Minke kalau begitu, Islamkah, Komuniskah? Islam(isme) sudah jelas tak mungkin. Minke kenyataannya tak bercita-cita mendirikan negara Islam. Lagipula, Minke itu abangan, tak ada riwayat dia alim sebagaimana Taqiyuddin An Nabhani—sang penganjur sistem Khilafah itu, ataukah ia akan seperti Imam Khomeini yang ahli fiqih, juga tak seperti tokoh-tokoh Jihadis yang rela mati demi tegaknya ‘kalimat Tauhid’.

Kalau dikatakan Komunis, nyatanya Minke menggunakan Islam (melalui Syarikat Dagang Islam[iyyah]) sebagai kekuatan untuk mengusir penjajah. Sekalipun benar Minke adalah Tirto Adhi Soerjo, tak ada riwayat Tirto adalah petinggi PKI. Lalu bagaimana dengan Pram? Menurut hemat saya, ideologi Pram itu Tirtois. Sementara Gus Muh adalah Pramis.

Tak ayal, Gus Muh, Pram, dan Tirto memberi sumbangan baru dalam dunia per-ideologi-an. Ideologi mereka tak kebayang oleh Muthahhari yang membagi ideologi menjadi tiga saja, yakni Islam, Kapitalisme, dan Sosialisme—yang lain ideologi turunan; juga oleh teman saya yang menambahkan Liberalisme termasuk dalam ideologi. Ideologi bisa lebih beragam: Pramis, Tirtois, dll.
*
Itho Murtadha menulis sebuah esai berjudul ‘Posideologi’ yang diterbitkan di websitepribadinya, dan juga dimuat secara daring oleh Harian Sulteng Raya. Posideologi sendiri awalnya ia munculkan dengan diantar oleh ‘katakanlah’. Artinya ini adalah istilah yang iseng saja dibuat. Tetapi kemudian terminologinya diperkuat dengan menambahkan kata ‘nalar’ di depannya. Menjadi nalar Posideologi.

Nalar Posideologi dimaksudkan adalah nalar yang tak terjebak pada sebuah penjara lama: Ideologi, yang mengekang itu dan menjadikan kita selalunya ingin berperang satu sama lain atas nama ideologi, dan peperangan itu sangat mengerikan—katanya. Kita punya agenda cukup besar ke depan, perkembangan sains dan teknologi seharusnya mengetuk pintu hati kita agar tak berlama-lama bertahan dengan konflik ideologi itu—dan memang sekarang nyaris tak ada lagi.

Walau sekadar keisengan, tetapi istilah Posideologi ini menarik, ‘Adalah nalar yang mencoba membuka pintu percakapan dengan ideologi-ideologi yang berbeda dengannya’. Hebatnya, Posideologi ini adalah sebentuk perubahan yang radikal dari apa yang disebut sebagai panglima kehidupan; dari kekuasaan politik yang mendominasi menuju ke superioritas ilmu pengetahuan.

Tentu saat menyebut ‘Pengetahuan sebagai panglima’, Itho tidak memaksudkan itu sama dengan apa yang diributkan oleh Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana, yaitu ketika sains terdorong menjadi panglima, maka saat itu pula ia lebih menjanjikan kepastian tinimbang kebenaran, atau mungkin sebaliknya.

Itho tentu ingin—sederhananya—menyudahi pertarungan yang mengandalkan otot, dan mari kita berkontestasi dalam lapangan pemikiran, filsafat, dan sains (yang kemudian disebut lapangan pengetahuan). Perkembangan dunia ke depan lebih membutuhkan pikiran dan perangai saintifik/ilmiah, bukannya keunggulan otot atau kekuatan gertakan dan sebagainya.

Meski begitu, Posideologi tak bisa mengelak, ia juga adalah sebuah ideologi. Jadi, jika nalar Posideologi secara ajek digunakan untuk menafsirkan dan memperlakukan dunia, maka ia termasuk ideologi. Ya, kurang lebih mirip dengan Pramis atau mungkin juga Tirtois tadi.

Akan tetapi saya pribadi memandang bahwa Posideologi tak lain adalah sebentuk kejenuhan kanda Itho atas matinya ideologi saat ini, lalu muncullah kuasi ideologi (mirip ideologi) yaitu suara kerumunan yang panas sementara. Nanti juga kalau sudah lewat momennya, kebuasan sebagian masyarakat kita juga hilang bersamaan dengan tenggelamnya isu PKI ini.

Tetapi yang luput dari perhatian Itho adalah fenomena sekarang ini bukanlah bermotif ideologis, melainkan lebih kepada stigma. Masyarakat kita saat ini tidak sementara perang ideologi, tetapi lebih kepada konflik identitas, ‘Saya siapa, dan anda siapa?’. Gawatnya, musuh yang diidentifikasi sekarang tinggal hantunya, mereka tak sadari itu.

Ah, Posideologi memang menarik!

Saeful Ihsan. Ketua Umum Pimpinan Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah.

Posting Komentar

0 Komentar