Teologi Orang Bugis Jadi Bahan Diskusi Daring Akun Instagram lacapila.id

MAKASSAR, ARUSMUDA.COM - Sebagai bentuk apresiasi terhadap khasanah pengetahuan masyarakat bugis, akun instagram lacapila.id menggelar diskusi daring secara rutin membahas masalah warekkeng yang secara sederhana bermakna sesuatu yang digenggam erat. Salah satu aspek yang menjadi pokok bahasannya adalah masalah teologi.

Secara teologis, orang Bugis menyebut zat adikodrati yang dipahami sebagai Tuhan dengan istilah séuwwaé. Untuk membahas masalah ini, lacapila.id menghadirkan seorang akademisi muda yang juga punya perhatian terhadap pelestarian budaya Bugis, Dr. H. Andi Singkeru Rukka, S.H., S.E., M.H.

Memulai pembahasannya, pembicara yang karib disapa Etta Aji Singke menguraikan makna kata séuwwaé secara bahasa. Menurutnya, setidaknya ada tiga makna yang terkandung dalam kata séuwwaé.

Petama, séuwwa bermakna tunggal. Etta Aji Singke mencontohkan penggunaannya dalam kalimat séuwwa tau. Kata séuwwa di sini sama dengan kata séddi atau satu sehingga séuwwa tau bermakna satu orang. Kedua, séuwwa bisa juga diartikan dengan mahluk, misalnya menyebut kata berulang séuwwa-séuwwa, maka maknanya adalah sesuatu.

Ketiga, kata séuwwa juga bisa diartikan berwujud. Orang Bugis ketika menunjukkan mewujudnya sesuatu akan mengatakan masséuwwa atau ta’lé. Dari sinilah Etta Aji Singke menyimpulkan bahwa bagi orang Bugis, makna ketuhanan lebih pada perwujudan dalam laku keseharian dibanding dengan pembahasan yang rumit, atau diskursus intelektual.

Pada kesempatan yang sama, Etta Aji Singke juga menegaskan bahwa kebertuhanan orang Bugis bukanlah asimilasi atau pengaruh dari kebudayaan India. Memang, orang Bugis menyebut Tuhan dengan istilah Déwata, tapi menurutnya, itu karena perubahan pembacaan atas kata Déwata dalam tulisan lontara, yang seharusnya dibaca Dé’watang.

Untuk jelasnya, silakan lihat gambar berikut:
Dé’watang sendiri bisa dipahami sebagai sesuatu yang tak bertubuh, tak berbadan, tak berwujud. Bila kata Dé’watang disambungkan dengan séuwwa, maka akan ditemukan makna sebagai sesuatu yang tak berwujud tapi mewujud. Menurut Etta Aji Singke, ini berarti bahwa keyakinan orang Bugis pada yang tak berwujud, diwujudkan dalam keseharian, dalam tingkah laku dan perilaku.

Etta Aji Singke menegaskan bahwa Bugis tidak memiliki model peribadatan yang khas sebagaimana agama Nasrani atau Islam misalnya. Bagi orang Bugis, seluruh aspek kehidupannya adalah perwujudan ibadah yang dituntun melalui pappaseng. Pappaseng ini adalah wasiat, yang membuatnya menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan.

Menurut Etta Aji Singke, seluruh semesta pappaseng berisi ajaran untuk saling menghormati dan menghargai sesama manusia. Pappaseng ini bisa direfleksikan dalam sulapa’ eppa berikut:
Sadda mappadupa ada
Ada mappaddupa gau’
Gau’ mappaddupa tau
Sadda itu adalah niat, suara hati, visi, dan keinginan, yang disuarakan dalam ada, lalu melahirkan gau’ atau tindakan. Gau’ lah yang mewujudkan tau atau manusia. Inilah model peribadatan manusia Bugis, melaksanakan papaseng dalam keseharian yang menjadi jalan untuk mewujudkan tau, manusia paripurna.

Mengenai konsep tau dalam perspektif Bugis, akan dibahas dalam sesi diskusi berikutnya. Selengkapnya untuk sesi ini, dapat disaksikan di kanal youtube Panrita Kitta’

Posting Komentar

0 Komentar