Pilkada Makassar dan Matinya Politik

OPINI, ARUSMUDA.COM - Kota Makassar menjadi salah satu daerah yang akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Kalau tak ada aral melintang, perhelatan akbar demokrasi ini akan mencapai titik puncak di hari pencoblosan pada 23 September 2020. Memang hingga kini belum ada calon yang ditetapkan KPU, namun bakal calon walikota dan Wakil Walikota kian gencar melemparkan bujuk rayu, janji manis, dan berbagai cara untuk mendapatkan suara dari rakyat yang akan memilih.

Pilkada menjadi sarana bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya secara langsung untuk masa lima tahun ke depan. Pesta demokrasi itu diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang akan menjalankan roda pemerintahan demi kesejahteraan rakyat.

Sebagai bagian dari proses politik yang demokratis, pelaksanaan Pilkada serentak ini memuat harapan besar bagi masyarakat untuk terlibat secara langsung dan aktif dalam proses politik yang sehat, benar, dan bermartabat demi kebaikan bersama. Melalui Pilkada, masyarakat menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas dan merdeka.

Bergesernya Makna Politik
Secara sederhana, politik dapat diartikan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Teori yang mengemuka sejak dari zaman Plato dan Aristoteles masih hidup ini sudah menjadi pemahaman klasik di dunia politik. Namun pun demikian, defenisi ini merupakan pengertian yang paling pas untuk menggambarkan apa itu politik secara sederhana.

Dari pemahaman tentang politik sebagai cara untuk meraih kebaikan bersama, oleh Anthony Giddens (1998 : 44) disebut sebagai model ‘politik emansipasi’. Model politik emansipasi adalah model proses politik yang bergerak untuk mewujudkan substansi demokrasi; kebebasan, kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan sosial.

Ini berarti bahwa para pelaku politik atau politisi bekerja untuk mewujudkan itu semua dengan berusaha menyingkirkan faktor-faktor yang menghambat terwujudnya masyarakat demokratis dan berkeadilan. Sementara itu, mereka para politisi yang tidak menjalankan politik sebagaimana pengertian ini, disebutnya sebagai model ‘politik kehidupan’.

Dewasa ini, menurut Anthony Giddens, telah terjadi pergeseran orientasi politik dari model politik emansipasi yang mengedepankan perjuangan sosial dalam menghadapi ketidakadilan, ke arah politik kehidupan yang lebih mengedepankan politik pilihan, identitas, dan hubungan antar keduanya. Pergeseran ini oleh Nancy Fraser disebutnya pergeseran pada arah politik dari ‘politik redistribusi’ menjadi ‘politik pengakuan diri (recognition)’.

Politik redistribusi Fraser menggumankan bahwa politik merupakan sarana untuk mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan bersama, sementara politik pengakuan diri lebih berwujud pada sikap pragmatis para pelaku politik untuk mencari kemakmuran diri sendiri. Proses demokrasi menjadi penuh dengan pelaku politik yang tak ubahnya para pencari keuntungan sesaat.

Pergeseran ini terjadi di tengah masyarakat kontemporer yang oleh Zigmunt Bauman (2005 : 1) disebutnya sebagai masyarakat yang encer. Masyarakat didikte oleh perubahan maha cepat di tingkat permukaan –terutama oleh industri media-- hingga terbentuk modus kehidupan sosial yang serba individual, semata-mata berorientasi-diri, dan dangkal.

Proses politik dalam masyarakat yang encer tidak lagi berorientasi emansipatif sebagaimana keinginan Giddens, juga jauh dari kesan politik redistribusi versi Frazer. Politik dalam masyarakat yang encer adalah juga politik yang encer, yang diisi oleh para politisi yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi serta golongannya dan kehilangan kedalaman.

Menurut Robertus Robert (2010 : 2), politik yang encer ini adalah model politik kehilangan kepemimpinan, karena para pelakunya berubah menjadi “idola-idola” yang bekerja demi kepentingan personal mereka ketimbang kepentingan publik. Dalam konteks Pilkada, para kandidat dalam politik yang encer hanya sibuk bersolek di berbagai baliho yang tersebar di persimpangan-persimpangan jalan dan lorong-lorong.

Matinya Politik
Keberadaan politisi jenis ini hanya berbentuk kamuflatif, sebab mereka tak pernah benar-benar menjadi subyek politik yang memperjuangkan terciptanya redistribusi keadilan dan kesejahteraan dengan merata, melainkan hanya menjadi pihak yang mengambil keuntungan dengan memanipulasi dukungan politik dari publik pemilihnya.

Peristiwa politik menjadi acara ‘panen raya’ bagi setiap mereka yang hanya menjadikannya sebagai sarana meraup keuntungan pribadi, ini bisa terlihat pada tim-tim sukses yang menjamur ketika Pilkada akan dihelat. Inilah yang dijelaskan oleh Antonio Negri dan Michael Hardt melalui Robertus Robert (2010 : 4) dengan mengatakan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam proses ‘pencarian laba’ kapitalis –entah itu petani, nelayan, pegawai, akademisi-- semuanya berpotensi memasuki hubungan eksploitatif.

Kondisi yang sangat tidak ideal dan jauh menyimpang dari pengertian dasar politik itu sendiri sebagai sarana meraih kemakmuran bersama, membuat Anthony Giddens, Antonio Negri dan Michael Hardt sampai pada kesimpulan tentang matinya politik dan memudarnya peran aktif subyek politik dalam mendorong perubahan sejarah.

Realitas Pilkada hari ini memperlihatkan realitas matinya politik karena politik telah gagal menjadi sarana mewujudkan kebaikan bersama, dan peran subyek politik juga ikut memudar, karena para politisi –kandidat beserta tim suksesnya, hanya sibuk mencari popularitas untuk mendongkrak elektabilitas. Ujung-ujungnya, mereka akan menunggangi kekuasaan yang diraihnya untuk meraup apa yang disebut oleh Negri dan Hardt sebagai laba kapitalis.

Dalam bahasa Alan Badiou manusia-manusia –para pelaku politik itu, telah kehilangan ‘hasrat akan kebenaran’. Kebenaran ikut tergerus akibat ditinggalkannya filsafat oleh para pelaku politik. Badiou menjelaskan tentang tergerusnya empat sendi utama filsafat, oleh arus kehidupan kontemporer. Keempat hal tersebut adalah revolusi, logika, universalitas, dan momen risiko.

Revolusi sebagai hasrat yang inheren dalam filsafat untuk senantiasa mendorong perbaikan dan pembaruan secara radikal, telah diserang oleh imperium kebebasan dalam alam demokrasi. Individu dengan bebas menentukan pilihan pada seorang calon Walikota dan Wakil Walikota, meskipun calon yang didukungnya mungkin tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mewakili dan menyalurkan aspirasi mereka.

Logika sebagai kerangka berpikir yang mengedepankan akal budi dan rasionalitas, telah digerus oleh ketidaklogisan komunikasi –termasuk komunikasi politik. Komunikasi politik yang nampak dalam proses Pilkada melalui kesan-kesan dan retorika yang dangkal –yang terlihat dalam tag line, baliho, dan beragam peraga sosialisasi lainnya, telah mengendorkan setiap relasi dan prinsip-prinsip.

Nilai-nilai universalitas telah tergusur oleh model dunia yang kian terspesialisasi dan terfragmentasi. Tak lagi ada pijakan akan mengemukanya nilai-nilai kebenaran universal, semua tergerus oleh kerangka fikir yang sempit dan penuh pertimbangan subyektif yang susah ditemukan argumentasi obyektifnya.

Sementara momen risiko sebagai efek dari keberpihakan pada kebenaran secara konsisten telah menjadi hampa, karena dunia kontemporer sudah tidak lagi menghendaki komitmen pada sebuah keputusan secara konsisten, dunia politik saat ini penuh dengan orang-orang yang mengedepankan kerangka kalkulasi yang pragmatis.

Dunia politik sebagaimana tergambar dalam Plkada, yang dihuni oleh manusia-manusia –para pelaku politik itu, yang telah kehilangan ‘hasrat akan kebenaran’, oleh John Gray disebut sebagai situasi ‘berakhirnya utopia’. Dunia yang tidak lagi memberikan harapan apa-apa bagi masyarakat, kecuali menempatkan masyarakat sebagai korban dari pertarungan para politisi yang haus kekuasaan.

Ikhtiar Emansipasi

Hilangnya politik emansipasi bersama dengan agen politik yang menggerakkan perubahan telah mendorong Badiou –sebagaimana dalam Robertus Robet (2010 : 192), mengusulkan bahwa dibutuhkan subyek yang muncul dalam kaitannya dengan kebenaran. Subyek yang hanya menjadi subyek apabila memiliki kesetiaan pada kebenaran. Kebenaran sendiri adalah kebenaran yang muncul dari dalam event (kejadian).

Dengan demikian –menurut Badiou, subyek menjadi subyek apabila ia memiliki militansi tertentu kepada kejadian. Zlavoj Zizek (2002 : 272) dengan mengamini Badiou mengusulkan Lenin sebagai model, “Kebesaran Lenin adalah bahwa sekalipun ia kekurangan aparatus konseptual yang memadai untuk memikirkan kedua tataran ini secara bersamaan (ekonomi dan politik—peny), ia sadar akan pentingnya berbuat demikian –tugas yang perlu meski mustahil”.

Dalam Islam, subyek sebagaimana idealisasi Badiou maupun Zizek telah dicontohkan oleh salah seorang cucu rasulullah Muhammad, SAW., Imam Husain ra. dalam tragedi Karbala. Ketika itu, dalam perhitungan matematis dan kalkulasi pragmatis, jumlah rombongan Imam Husain ra. sudah pasti kalah dari pasukan Muawiyah yang dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad, namun hal tersebut tidak membuat Imam Husain ra. mundur, beliau tetap bersetia pada kebenaran, dan memilih syahid di ujung pedang musuhnya.

Muhammad Kasman, Ketua I Pimpinan Besar (PB) Pemuda Muslimin Indonesia 2019 - 2024

Posting Komentar

0 Komentar