OPINI, ARUSMUDA.COM - Perempuan sebagai objek kajian senantiasa menarik untuk diperbincangkan
sebagai pendekatan dalam meneropong struktur sosial patriarki. Identitas gender
perempuan selalu dipertanyakan dan digugat sebagai salahsatu penyebab
ketidakadilan dalam struktur sosial. Tapi apakah serta merta sistem patriarki
digugat dan tergantikan dengan struktur lainnya, katakanlah sistem matriarki.
Mungkin perjuangan perempuan adalah proyek besar untuk menyelesaikan
dendam sejarah yang berlarut-larut melawan dominasi kaum laki-laki. Perbedaan identitas
gender antara laki-laki dengan perempuan melalui proses panjang dan
dikonstruksi secara sosial dan kultural yang kemudian terbakukan. Perempuan
harus lemah lembut dan laki-laki harus kuat perkasa adalah contoh sikap khas
yang dimiliki keduanya.
Penyimpangan akan melahirkan ketimpangan sosial yang dilegitimasi oleh
agama dan negara. Tulisan ini berpretensi menganalisa atau membedah kontruksi
ideologi gender diranah bawah sadar, peran kuasa sampai melihat fenomena
patriarki sebagai femomena kontra kenikmatan.
Ranah Bawah Sadar
Pola hubungan majikan/budak Hegel menjadi illustrasi menarik
menggambarkan bentuk oposisi perempuan dalam hierarki kekuasaan. Dibutuhkan
‘Yang Lain’ dalam masyarakat patriarkal untuk menegaskan posisi. Oposisi
perempuan dan laki-laki merupakan citra alam bawah sadar yang terstruktur mirip
dengan bahasa. Manusia dapat memiliki sifat sosial melalui bahasa, dan
bahasalah yang membentuk kita menjadi subjek.
Manusia senantiasa tidak sadar
dibiasakan dan dibentuk dengan bahasa yang terberi secara sosial, kebudayaan
dan hukum. Dominasi laki-laki dalam produksi teks tulisan patriarkal adalah
kekalahan kaum feminis dalam praktik budaya menulis dan libido feminin. Cixous
percaya bahwa tatanan patriarkal dapat dilawan dengan praktik menulis feminin.
Adalah Freud menilai bahwa wanita sukar dipahami. Banyak feminis tidak
menyetujui analisis Freud dan menuduhnya mendukung pandangan patriarkal bahwa
wanita lebih rendah. Wanita-dari kodratnya-bersifat pasif, masokistis, iri
terhadap laki-laki, kurang rasional, dan mempunyai super-ego yang lebih lemah.
Mungkin ini disebabkan keirian akan penis dan sifat pasif menjadi nasib.
Sampai disini muncul pertanyaan, apakah sifat maskulinitas dan feminitas adalah
stereotipe hasil konstruksi sosial dan kultural? Bagaimana kalau ternyata sifat
alamiah (biologi) perempuanlah yang dominan membentuk karakter feminin dan
bukan sebaliknya.
Peran Kuasa
Tradisi anti humanisme dalam konteks posmodernisme tidak memberi peluang
pada manusia sebagai subjek sadar diri dalam menentukan tindakannya. Ia berbeda
dengan eksistensialisme sang juru bicara humanisme yang mengutamakan kebebasan
manusia (diri sebagai subjek). Subjek bernama perempuan telah mati ditelan
gelombang realitas sosial atau konstruksi dan struktur ideologi sebagai penentu
perjalanan eksistensial. Tapi, mungkinkah tidak ada celah.
Kuasa bekerja dalam relasi gender perempuan dan laki-laki. Argumentasi
Foucault bahwa kuasa bukanlah milik siapa-siapa tetapi suatu relasi yang
senantiasa dipraktekkan. Posisi dominasi laki-laki perlu dipertanyakan sebagai
posisi yang menguntungkan atau tidak. Penindas dan tertindas adalah posisi
Kontra Kenikmatan
Perilaku masokis perempuan adalah sebentuk kenikmatan yang lahir dari
karakter feminin yang cenderung kurang rasional dalam tindakannya. Psikologi
Freudian yang memahami ‘kenikmatan’ sebagai lawan dari ‘penderitaan’ perlu didekonstruksi
dari lahirnya beragam paradoks. Kenikmatan dan penderitaan dapat melebur
menjadi satu hingga tidak bisa lagi terbedakan.
Bagaimana seorang perempuan atas nama mode rela memakai pakaian super
ketat, mengkonsumsi beragam obat pelangsing, menyusui anak, memakai alat
kontrasepsi sampai memakai jilbab yang mungkin bersifat memaksa dan menyiksa.
Analisis kontra konikmatan agaknya cukup pas menggambarkan bagaimana prilaku
tersebut terbentuk dan dipraktikkan.
Dalam bahasa dan kerangka ideologi, pemetaan antara ‘kenikmatan’ dan
‘kontra kenikmatan’ tak lagi relevan. Ideologi telah mensubjeksi atau
mengkonstruksi perempuan untuk larut dan melebur dalam dunianya sendiri.
Mengapa mesti diusik?
Arief Gunawan. Seorang Peternak Ayam di
Pangkajene-Sidrap.
Ilustrasi: remotivi.com
0 Komentar