Isu kebangkitan Islam manjadi tantangan
tersendiri untuk mendobrak tesis Fukuyama tentang ‘Akhir dari Sejarah’ (the
end of history) yang bermuara pada ‘demokrasi liberal’ dan terciptanya
masyarakat konsumtif. Masih adakah harapan munculnya kembali Islam sebagai
peradaban alternatif di tengah krisis patologi modernitas. Tulisan ini mencoba
memberikan sebuah perspektif sekaligus metode untuk melakukan pembedahan
terhadap gerakan pemikiran Islam dengan mengambil latar belakang kritik nalar
tekstual yang dominan dalam gerakan pembaharuan Islam kontemporer.
Filosofi Nalar
Secara filosofis nalar dikatakan sebagai
sistem pengetahuan yang memegang peranan penting dalam aktivitas mental
manusia. Setiap manusia dipegang oleh satu kunci nalar yang akan membentuk
kebudayaan sehingga dalam masyarakat beragama (baca:Islam) aktifitas
nalar bisa dilacak dari proses pembumian teks kitab suci (wahyu) secara
sosio-historis. Melalui nalar, manusia mampu memahami dan mengatur realitas,
singkat kata bahwa nalar sebagai aktivitas kesadaran, lahir dan dibentuk dalam
konteks sosial yang melingkupinya (episteme).
Satu hal yang tidak bisa diabaikan dalam
analisis nalar adalah peran “bahasa” dalam konstruksi kesadaran manusia. Bahwa
dengan bahasa, manusia berkomunikasi dan mendefiniakan dunia, sehingga semua
sistem makna yang terbentuk takkan lepas dari perkara bahasa. Jika dikembalikan
kepada pembahasan awal tentang nalar, kita bisa menarik kesimpulan bahwa bahasa
memiliki peran penting dalam mengkonstruksi atau membentuk kesadaran manusia,
apakah itu kaum agamawan, teknokrat, intelektual, politisi dan lain sebagainya.
Nah, dalam tulisan ini yang menjadi
fokus utama adalah analisis tentang keterbelakangan Islam dengan membedah
struktur kesadaran yang telah kita representasikan sebagai struktur kebahasaan.
Sebuah pertanyaan krusial kerap dilontarkan bahwa, apakah bahasa yang membentuk
realitas atau sebaliknya realitas yang membentuk bahasa. Dengan menggunakan
sudut pandang teori gambar ditemukan bahwa terdapat paralelitas atau relasi
antara bahasa dengan realitas. Artinya realitaslah yang membentuk bahasa dan
sebaliknya bahasapun mampu membentuk realitas.
Bagaimana dengan bahasa Al-Qur’an?
Sejauh yang kita lihat bahwa Al-Qur’an tidak mungkin diturunkan dalam ruang dan
waktu yang kosong, sehingga keterjalinannya dengan realitas adalah niscaya.
Tulisan ini tidak akan mempersoalkan status kebenaran Al-Qur’an dan bagaimana
memperlakukannya, sebab Al-Qur’an tidak diragukan lagi sebagai dokumen otentik
historis yang tak tersentuh oleh perubahan dan pengrusakan apapun. Tapi, kita
hanya ingin menarik benang merah tentang status kebahasaan hubungannya dengan
konstruksi kesadaran manusia dan bagaimana wahyu secara interpretatif dipahami
dan struktur teoretis yang melatari pemahaman itu.
Nalar Tekstual
Nalar sebagai sebentuk kesadaran
kebahasaan dalam hubungannya dengan peran kitab suci sebagai sistem
epistemologis (teori pengetahuan) akan menjadi sebuah identitas
ideologis atau pandangan dunia yang akan memposisikan diri sebagai alat ukur
kebenaran. Ciri nalar tekstual adalah dominannya “otoritas teks” dalam sistem
pengetahuan yang dibangun yang berasal dari wahyu, hadist, dan pemikiran
intelektual terdahulu.
Dalam nalar tekstual peran bahasa begitu
penting untuk membentuk realitas, bukan sebaliknya realitas yang membentuk
bahasa. Seperti pembahasan awal tentang struktur kesadaran, nalar tidak mampu
keluar dari kungkungan struktur kebahasaan yang menjadi alat untuk
mentransformasikan ide atau gagasan, karena dunia telah diciutkan dan dilipat
dalam bahasa. Maka, secara epistemik kesadaran manusia akan terpenjara dalam
suatu konteks ruang dan waktu tertentu. Kesadarannya adalah kesadaran masa
lalu. Hal inilah yang dikonsepsikan oleh Muhammad Arkoun tentang
parameter-parameter yang ‘terpikirkan’, ‘yang tak terpikirkan’ dan ‘tak mungkin
terpikirkan’.
Sebagai sistem pengetahuan, nalar
tekstual dalam pendekatan tata pemainan bahasa (language-games) ala
Wittgenstein adalah penentu dalam aturan permainan bahasa. Seperti permainan
catur, manusia digerakkan oleh hukum-hukum kebahasaan yang telah ditentukan dan
di sinilah sistem makna tercipta. Dan tidak ada alasan bagi kita untuk menolak
anggapan bahwa sistem sosial kita tersusun seperti halnya bahasa, sebab tanpa
bahasa manusia tak mampu mendefinisikan diri dan dunianya, melalui bahasa
manusia mengatur dirinya.
Dalam konteks pembahasan kita, kerancuan
nalar tekstual adalah ketika menganggap bahwa segala persoalan realitas telah
terangkum dalam teks. Lupa bahwa alam semesta adalah teks kebahasaan yang tak
terhingga, bahwa pengalaman lebih luas dari bahasa. Dalam pemahaman Heidegger
bahasa semata-mata sebagai deskripsi atau alat penyampai informasi, maka dengan
sendirinya kita menciutkan dan mendistorsikan pengertian kita tentang “dunia”
dan “eksistensi”. Maka, gugatan kita selayaknya diarahkan pada proses pembakuan
teks hasil interpretasi ulama terdahulu terhadap wahyu sebagai tafsir
otoritatif modus penjelasan realitas.
Untuk menjadi peradaban alternatif,
Islam perlu melakukan dekonstruksi pada tataran epistemologis, maksudnya
perubahan dilakukan pada aspek terdasar bagaimana sistem pengetahuan itu
dibentuk. Tujuan kita melakukan kritik terhadap bangunan nalar tekstual adalah
untuk memberi jaminan pada nalar lainnya, misalnya ide kontekstualisasi Islam.
Kuasa Nalar
Melalui analisis kuasa a la Foucault,
sebenarnya terdapat paralelitas antara kuasa dan pengetahuan, di mana
pengetahuan diserap ke dalam kekuasaan untuk mengontrol dan mengatur kehidupan.
Di sini, nalar tekstual berhubungan erat dengan proses hegemoni sosio-kultural
oleh kekuasaan tertentu. Bahwa nalar tekstual bekerja dalam tataran
epistemologis, psikologis, sosiologis bahkan politis untuk menguasai, membentuk
dan membatasi kesadaran umat melalui represi kuasa “bahasa” yang bernama “nalar
tekstual”.
Gagasan perubahan apapun sebaiknya
dianalisa dari beragam perspektif atau sudut pandang. Yang perlu dipelihara dan
dihidupkan dalam Islam adalah tradisi kritik. Kritik yang ditujukan terhadap
segala tesa yang melemahkan progresifitas umat, sehingga tercipta suatu
paradigma baru hasil persilangan antara wahyu yang otentik dengan epistemologi
yang mapan.
Arief Gunawan. Seorang Peternak
Ayam di Pangkajene-Sidrap.
0 Komentar