Representasi Perempuan Dalam Media


OPINI, ARUSMUDA.COM - Banyak  yang  mengatakan, saat ini emansipasi wanita  telah berjalan dengan baik. Posisi wanita di berbagai bidang  telah telah  banyak  diakui. Namun  demikian,  benarkah  realita demikian  yang  terjadi? Perlu kiranya hal  tersebut  dikaji  lagi,  bukan  untuk mempertanyakan  dan  meragukan, namun  untuk  lebih  mengetahui  apa yang  terjadi  sebenarnya pada wanita masa kini.

Bagaimana  media menampilkan  sosok wanita  sering  kali menjadi  acuan  dan  contoh  yang digunakan  untuk  menilai  wanita  pada umumnya.  Bukan  hanya  mereka  yang berlainan gender terhadap wanita, tetapi juga wanita melihat diri mereka sendiri dan melihat sesama wanita lainnya.

Dunia  saat  ini  telah  dipenuhi oleh media. Saluran televisi dan stasiun radio  hampir  tak  terhitung  jumlahnya hadir  bagi kita.  Berbagai  media cetak, seperti  surat  kabar,  majalah,  buku, komik,  dan  juga berbagai  video,  film, animasi  saling  bersaing untuk  menarik perhatian kita  dan  menyita waktu  kita. Kehadiran  iklan  pun  hampir  tidak mungkin  lagi  kita  hindari. 

Ditambah kini dengan hadirnya internet, surfing di internet sudah menjadi aktivitas sehari –hari  di  masyarakat  kita.  Berbagai pilihan informasi ditawarkan bagi kita,dan  tanpa  kita  sadari,  ketika  kitamenikmati  dan  menerima  informasi yang  disampaikan media  tersebut, kita sedang  menciptakan makna bagi kita sendiri.  Maka,  wajar  jika  media informasi massa memberikan pengaruh dalam  membentuk  kesadaran masyarakat, salah satunya terhadap perempuan, baik positif ataupun negatif.

Saat ini kita ada di era simulasi, di mana tanda bukan lagi merepresentasikan  namun menciptakan realita kita. Simulasi menentukan siapa kita  dan  apa  yang  kita  lakukan,  tanda membangun  pengalaman  kita.  Menurut Donald  Ellis, media utama pada suatu waktu  akan  membentuk  perilaku  dan pemikiran.  Saat  ada  perubahan  pada media, maka berubah pula cara berpikir kita,  pengelolaan  informasi,  dan menghubungkan satu sama lain. 

Media tertulis  membawa  perubahan  besar dalam  masyarakat, ketika  kita menulis sesuatu,  kita bisa  memisahkannya dari waktu,  kita  bisa  memanipulasinya, merubahnya,  mengeditnya  serta membuat  ulang.

Pengaruh  negatif  media informasi  tentang  perempuan  berjalan melalui pembentukan, pengukuhan dan publikasi gambaran – gambaran negatif yang  telah  mengakar  tentang perempuan  yang  patuh, baik  dalam pikiran  kaum  pria,  bahkan  perempuan sendiri  hingga  anak –anak. 

Banyak pihak ini sama sekali tidak  meragukan keabsahan  gambaran  tersebut,  di mana produksi  ideologi  kembali  pada keunggulan laki – laki yang membuat perempuan tetap berada dalam keadaan yang  menyedihkan.  Di sini  media seringkali  secara  tidak  sadar  juga menjadi pelaksana tradisi –tradisi yang tidak mampu mengeluarkan perempuan dari area diskriminasi. Dalam  kultur  postmodern,  istilah  ini mengandung konotasi buruk. Ironisnya, meskipun  tidak  mengejutkan, perempuan  sendiri  sering  kali  tidak berhati – hati  dalam  pembuatan  dan kontruksi  stereotip  gender  yang menyimpang tersebut.

Media  pasti  memiliki  sasaran audience,  termasuk  juga  ada  media dengan  sasaran  audience  perempuan. Tak hanya itu, industri media kemudian memecah-belah perempuan. Ada pengkotak-kotakkan: perempuan berwajah cantik vs perempuan berwajah pas-pasan, perempuan putih vs perempuan berkulit hitam. Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan, namun telah menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televisi—stereotipe yang sangat jarang terjadi di ruang redaksi di media cetak maupun radio. Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci tubuhnya.

Para perempuan membenci wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi—ingin berubah wujud menjadi tubuh yang diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian digunakan untuk menentukan identitas seseorang, yaitu dengan simbol-simbol, signifikasi, representasi dan semua bentuk citra. Kriteria inilah yang sering dilabelkan bagi pada seseorang atau kelompok tertentu.

Menurut  Deddy Mulyana  dalam  buku Sihir  Iklan karangan Wahyu Wibowo,  kebanyakan iklan  di  media  massa  merupakan reproduksi  stereotip  peran  tradisional kaum  perempuan.  Pria dan  perempuan digambarkan sebagai dua makhluk yangmemiliki  dunia  yang  berbeda. Perempuan  digambarkan  hanya  peduli dengan  rumah  tangga  dan  penampilan fisik mereka. Sedang kepedulian  lelaki dikesankan  hanya  di  sekitar  bisnis, mobil  dan  olah  raga. 

Iklan  produk kecantikan (bedak, deodorant, shampoo,make  up,  sabun  dan  lainnya) melukiskan  bahwa  setelah  produk  ini dipakai sang tokoh perempuan, maka ia akan  menjadi  santapan  mata  pria. Kondisi  ini  makin  dipertegas  oleh otoritas  media  massa,  yang  sangat leluasa  membuat’  perempuan  pada akhirnya harus  kembali hanya  menjadi milik’  pria.  Karenanya,  perempuan harus  tampil  bersih,  cantik,  menarik, sehat,  pintar  memasak.

Stereotip  merupakan  pelabelan  yang mengelompokkan  orang,  yang umumnya  cenderung negatif  dan  yang dapat  dikenakan  terhadap  seluruh kelompok sosial atau kultural. Beberapa stereotip  mendapatkan  persetujuan  di masyarakat karena digunakan di dalam media  secara  global.  Secara  ideologis, stereotip menunjukkan justifikasi posisi istimewa  seseorang  dan perlakukan yang  berbeda  terhadap  orang  lain.Disini  stereotip  jadi  memarginalkan  perempuan.

Tawaran dari masalah di atas adalah diskriminasi peran gender yang dikontruksi sosial dapat hilang, jika media sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki cita-cita intitusional dapat mendidik masyarakat dan berperan aktif untuk meningkatkan kesetaraan gender. Karena tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media, maka dalam hal ini media diharapkan mampu mempengaruhi sistem sosial untuk mempertimbangan nilai adil gender. Seluruh pekerja media harus memiliki pehaman tentang sensitif gender, agar kesadaran untuk meningkatkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bisa tercapai.

Nurul Khofifah P. Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Makassar Angkatan 2017.

Posting Komentar

0 Komentar