Kebijakan Publik Presiden Jokowi Yang Berpotensi Maladministrasi

OPINI, ARUSMUDA.COM - Secara teoritis, kedudukan Kepala Negara dapat dibedakan atas dua yakni Kepala Negara Simbolis dan Kepala Negara Populis. Kepala Negara  Simbolis adalah Kepala Negara yang tidak memiliki hak prerogatif dan hak politik sehingga tidak dapat mencampuri urusan pemerintahan dan hanya memiliki sedikit kewenangan. Kepala Negara jenis ini biasanya menganut system parlementer dan seorang Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Lain halnya dengan Kepala Negara Populis yang memiliki hak prerogatif dan hak politik yang dapat ikut campur dalam urusan pemerintaha dan memiliki banyak kewenangan. Kepala Negara jenis ini banyak menganut sistem pemerintahan presidensiil atau semi-presidensiil.

Dalam sistem tata negara Indonesia, kedudukan seorang Presiden Republik Indonesia adalah sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan.  Dalam menjalankan tugasnya, seorang Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dan menteri-menteri. Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara telah diatur dalam beberapa Pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni: memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10); mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 ayat 1); menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 13 ayat 3).

Setidaknya ada lima kebijakan Presiden Jokowi yang akan dikaji dengan cara Rapid Assesment yakni Pertama, kebijakan tentang pengelolaan utang negara; Kedua, kebijakan tentang impor pangan;  Ketiga, kebijakan tentang pembubaran ormas HTI;   Keempat, kebijakan penggunaan pajak rokok untuk BPJS Kesehatan; Kelima, kebijakan pembebasan pembayaran Jalan Tol Suramadu.
  
1. Kebijakan Pengelolaan Utang Negara
Ekonom dan mantan Menko Kemaritiman Dr. Rizal Ramli menyampaikan kritik kinerja ekonomi Presiden Jokowi sepanjang empat tahun memerintah tidak membaik. Indikator ekonomi yang dikritik salah satunya  adalah pengelolaan utang pemerintah. Rupiah yang terus terpuruk dalam sejarah, pertumbuhan ekonomi yang mandeg 5 persen, serta utang bertambah setiap hari Rp 1,47 Triliun per hari. 

Peraturan yang terkait dengan manajemen utang negara adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Adapun komponen utang negara terdiri atas dua macam yakni pinjaman (pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri) dan Surat Berharga Negara (SBN).

Hingga akhir bulan Agustus 2018, total pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia sebesar Rp 4.363,19 triliun. Angka tersebut meningkat dari bulan sebelumnya yang mencapai Rp 4.253 triliun. Ada kenaikan utang pemerintah dalam rentang waktu satu bulan mencapai 110,19 triliun (2,59 persen). Jumlah utang tersebut merupakan 30,31 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Asumsi PDB hingga akhir Agustus 2018 adalah 14.395,07 triliun. 

Rincian utang pemerintah adalah pinjaman luar negeri pemerintah sebesar Rp 815,05 trilyun sedangkan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,25 triliun. Sedangkan utang dalam bentuk SBN dalam denominasi rupiah sebesar Rp. 2.499,44 triliun dan denominasi valuta asing Rp 1.042,46 triliun. Dengan demikian, persentasi utang pemerintah secara keseluruhan terdiri dari pinjaman 18,82 persen, SBN denominasi rupiah Rp 57,28 persen dan SBN denominasi valas 23,89 persen. 

Dalam rentang empat tahun Presiden Jokowi, pemerintah mengklaim pengelolaan utang lebih sehat. Grafik utang luar negeri sejak tahun 2014 terus tumbuh. Pada tahun 2014, nominal utang berada pada US$ 293,33 miliar. Kemudian pada tahun 2015 naik ke level US $ 310,73 miliar, naik lagi pada tahun 2016 ke level 320,01 miliar dan US$ 352,96 miliar pada tahun 2017. Sementara pada tahun 2018, tercatat hingga akhir Agustus tercatat US$ 360,72 miliar. Pertumbuhan utang kembali naik pada tahun 2017 mencapai 10,3 persen kemudian melambat kembali pada akhir Agustus 2018 menjadi 5,14 persen. Jadi pemerintah mencatat pada tahun 2016 dan 2018 pertumbuhan utang menurun secara persentase. 

Meski angkanya terus naik, namun pemerintah mengklaim pertumbuhannya tidak tinggi. Pada perode 2014-2016, pertumbuhan utang tahun 2014 adalah 10,23 persen kemudian turun pada tahun 2015 menjadi 5,93 persen. Kemudian pada tahun 2016, kembali turun pada level 2,99 persen. Dalam ketentuan UU, total utang negara seharusnya dibawah batas 60 persen terhadap PDB. 

Sebagai pembanding informasi pemerintah adalah Bank Indonesia mengeluarkan publikasi Laporan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia per Agustus 2018 menyebutkan bahwa hingga akhir semester satu tahun 2018, total utang luar negeri mencapai US$ 355,7 miliar. Utang luar negeri ini setara dengan Rp 5,199 triliun dengan kurs Rp 14.620 per dollar AS. Angka tersebut terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral US$ 179,73 miliar atau setara Rp 2.628 triliun, sedang utang swasta sebesar US$ 176 miliar atau sekitar Rp 2.673 triliun. Pada kuartal kedua 2018, secara umum utang luar negeri tumbuh 5,5 persen atau melambat dibanding kuartal sebelumnya 8,9 persen. 

Bank Indonesia berpendapat bahwa terjadinya perlambatan utang luar negeri karena dipicu penurunan utang dari sektor pemerintah maupun swasta. Ada dua faktor yang menyebabkan demikian yakni pengelolaan fiskal pemerintah yang resilient di tengah tekanan global, serta strategi pembiayaan yang diupayakan untuk lebih mengoptimalkan sumber dari pasar domestik. 

2. Kebijakan Impor Pangan
Pengaturan tentang pangan di atur dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan produksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harya yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Amanat lain dari UU Pangan adalah mempermudah dan meningkatkan akses pangan bai masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri, meningkatakn pengetahuan dan kesadaran masyrakat tentang pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, pelaku usaha pangan dan melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.  

Komoditas pangan yang utama bagi rakyat Indonesia adalah beras. Beras sukses   dipopulerkan sebagai makanan rakyat sejak Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam buku “Presiden RI Kedua Jenderal Besar HM Soeharto” (2008: 334-336), Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menyatakan bahwa, “…Pokoknya, penyediaan beras itu merupakan taruhan. Kalau ada orang yang tidak bisa menyediakan beras, jangan berharap jadi pesiden”.  Pada tahun 1966, Indonesia masih tercatat sebagai pengimpor beras terbesar, maka pada tahun 1984 berhasil swasembada beras. Pada tahun 1984, produksi beras mencapai 25,8 juta ton, naik dua kali lipat dari tahun 1969 sebanyak 12,2 juta ton beras. Hal ini disokong keberhasilan kebijakan pembangunan sektor pertanian dengan sejumlah kebijakan pangan.

Sementara kebijakan Presiden Jokowi menargetkan pada awal pemerintahannya 2014 akan melakukan swasembada beras dalam waktu tiga tahun kedepan yakni 2017. Tetapi target tersebut tidak tercapai dilihat dari kebijakan impor beras yang terus menerus dilakukan. Malah trend impor beras terus meningkat volumenya dari tahun ke tahun. 

Pada tahun 2014, impor beras Indonesia tercatat sebanyak 844,163 ton. Kemudian tahun 2015, impor kembali dilakukan meski tercatat naik tipis menjadi 861.601 ton. Impor beras kembali mengalami peningkatan hingga 49 persen menjadi 1,28 juta ton pada tahun 2016 meski menyusut pada tahun 2017 sebesar 76 persen. 

Pada tahun 2018, impor beras kembali menjadi polemik ketika Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor beras kepada Perum Bulog sebesar 500.000 ton pada bulan Februari dan sebesar 500.000 ton pada bulan Mei. Pada bulan Agustus, Kemendag kembali menerbitkan izin impor beras untuk 1 juta ton sehingga total volume impor beras mencapai 2 juta ton. 

Menurut catatan Bulog, realisasi impor beras oleh Bulog hingga bulan Juli 2018 mencapai 865.519 ton. Proyeksi FAO, impor beras Indonesia pada tahun 2018 sekitar 800 ribu ton. Jika impor beras mencapai 2 juta ton tahun 2018 berarti setara lebih dari dua kali lipat dari proyeksi FAO. Berarti Indonesia semakin jauh dari mimpi untuk melakukan swasembada beras sebagai target yang dicanangkan Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya.

Pandangan dari masyarakat tentang impor pangan datang dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Ihwal meningkatnya kebutuhan impor beras disebabkan adanya kemarau yang melanda sejumlah wilayah penghasil beras sehingga membuat produksi beras nasional menurun. Prediksi BMKG, musim kemarau berlangsung sejak Mei hingga Oktober. Kekeringan yang melanda wilayah penghasil beras seperti Indramayu (Jawa Barat) membuat panen rata-rata turun minimal 50 persen hingga 100 persen (gagal panen). 

Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia juga membenarkan terjadinya gangguan produksi beras karena kemarau. Data Asosiasi Bank Benih, luas wilayah sentra produksi beras yang dilanda kekeringan mencapai 39,6 persen sehingga berimbas pada turunnya produksi beras sekitar 39,3 persen. Penurunan produksi beras bisa bertambah akibat kemarau.

Meski berbagai alasan mewarnai kebijakan impor beras tetapi Kementerian Pertanian selalu optimis pada produksi beras. Kementan memperkirakan ada surplus beras sebanyak 12,7 ton pada tahun 2018. Semestinya, produksi yang surplus berdampak pada harga beras yang stabil dan terjadi pemenuhan kebutuhan beras oleh masyarakat. Tetapi kenyataan, selama tahun 2018, sudah tiga kali Kemendag mengeluarkan izin impor beras mencapai dua juta ton. 

3. Kebijakan Pembubaran Ormas HTI
Pembubaran organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada bulan Juli  2017 lalu banyak yang mengaitkan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.  Undang-undang yang menjadi turunan dari Pasal 28 UUD 1945 itu adalah Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 24 ayat (1) UU HAM disebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, berserikat untuk maksud-maksud damai”. 

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas HTI sebagai tindaklanjut dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pencabutan status hukum ormas HTI melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. 

Ada tiga alasan pemerintah mencabut status hukum ormas HTI. Pertama, sebagai ormas yang berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. 

Langkah hukum pun ditempuh oleh HTI dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada 8 Mei 2018, PTUN Jakarta memutuskan menolah gugatan HTI yang mengugat pencabutan SK Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017. Hakim mempertimbangkan bahwa HTI terbukti ingin mendirikan negara khilafah didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakim juga memandang tidak terdapat cacat yuridis baik dari segi wewenang tergugat (Menkumham), prosedur penerbitan, serta substansi obyek sengketa. Dengan demikian, hakim menilai langkah Menteri Hukum dan HAM mencabut status hukum ormas HTI sudah tepat. 

Setelah dinyatakaan kalah di PTUN Jakarta, HTI mempersiapkan untuk melakukan upaya Banding. Juru bicara HTI, Ismail Yusanto menganggap bahwa kegiatan dakwah HTI tidak pernah disalahkan atau bahkan dilaporkan sebelum ada SK pembubaran. Pendapat saksi ahli dari HTI pun tidak dipertimbangkan Hakim dan justru perspektif Hakim sama seperti perspektif pemerintah. HTI menganggap rezim Jokowi adalah rezim kezaliman dan rezim yang menindas.

Dasar hukum yang digunakan pemerintah membubarkan ormas HTI adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah menganggap ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan Perppu. Namun latar belakang terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 secara kontekstual mengandung ambiguitas karena kegiatan HTI selama sebelum terbit SK pencabutan status hukum ormas HTI  tidak pernah dinyatakan radikal apalagi dibubarkan secara paksa sehingga dianggap tidak ada “kegentingan yang memaksa” untuk membubarkan ormas HTI. 

Dasar lahirnya Perppu Ormas menggunakan Pasal 22 ayat 1 UU 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang” yang menjadi kewenangan subyektif yang dimiliki Presiden. Tetapi ada syarat obyektif yang harus dipertimbangkan Presiden yakni “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” sehingga penerbitan Perppu berdasarkan kebutuhan karena kekosongan hukum, bukan berdasarkan kepentingan politik.

Dalam pandangan seorang ahli hukum AALF van Dulleman dalam buku, Staatsnoodrecht en Democratie (1947), ada empat syarat hukum tata negara darurat, yakni: (1) eksistensi Negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan; (2) tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan dengan tindakan lain; (3) tindakan tersebut bersifat sementara; (4) syarat itu berlaku secara kumulatif.

Sementara putusan Mahkamah Konstitusi atas penafsiran frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 menjelaskan apa yang menjadi parameter bagi Presiden tentang hal ihwal kegentingan yang memaksa. Ada beberapa tolok ukur yakni adanya keadaan yaitu (1) kebutuhan mendesak utnuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang seara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendeak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

4. Kebijakan penggunaan pajak rokok untuk BPJS Kesehatan
Negara memberi amanat bagi pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan sosial bagi rakyat melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun  2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ada dua badan penyelenggara jaminan sosial yakni BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (Pasal 5 ayat 1 dan 2).  

Dalam pelaksanaannya, BPJS Kesehatan menanggung beban yang lebih berat dibanding BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan mencapai Rp 9,9 triliun sehingga berharap bantuan dari pemerintah. Pemerintah pun menyetujui untuk memberi bantuan kepada BPJS bersumber dari APBN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional sebesar Rp 4,9 triliun dari angka deficit BPJS Kesehatan sebesar Rp 9,9 triliun. Sedangkan sisanya sebesar Rp 5 triliun berasal dari pajak rokok yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemanfaatan DBH CHT dan Pajak Rokok. 

Angka Rp 5 triliun dari pajak rokok didapatkan dari perhitungan dalam satu tahun penerimaan cukai tembakau sebesar Rp 148 triliun, 10 persen adalah pajak rokok atau setara Rp 14 triliun. Kemudian dari angka Rp 14 triliun, setengahnya atau Rp 7 triliun (75 persen) yang dialokasikan 5 triliun untuk suntikan dana BPJS Kesehatan. 

Penerbitan Perpres dan PMK untuk menyuntikkan modal bagi BPJS Kesehatan hanya berlaku jangka pendek, termasuk pemanfaatn pajak rokok. Pemerintah mengklaim akan melakukan langkah-langkah yang berkelanjutan bak melalui iuran wajib maupun alokasi lain dari sumber-sumber yang bersifat earmarking dengan tetap memperhatikan keadilan.
  
Pemanfaatan penerimaan dari rokok baik cukai maupun pajak rokok dianggap tidak adil karena prevalensi penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok yang dikonsumsi sehingga mengakibatkan penyakit seperti penyakit jantung atau diabetes. Pemerintah akan berupaya melakukan eksensifikasi obyek cukai selain cukai tembakau sebagai bentuk perluasan sumber pembiayaan. 

5. Kebijakan pembebasan pembayaran Jalan Tol Suramadu
Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa (Surabaya) dengan Pulau Madura (Bangkalan) sepanjang 5,438 meter merupakan jembatan terpanjang di Indonesia. Jembatan tersebut diresmikan pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada 20 Agustus 2003 dengan biaya perkiraan pembangunan jembatan sebesar Rp 4,5 triliun dan diresmikan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009. Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaknu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge) dan jembatan utama (main bridge). 

 Ada empat kontraktor yang terlibat pembangunan jembatan Suramadu yang tergabung dalam Concortium of Indonesia Contractor (CIC) yakni PT Adhi Karya, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya dan PT Wijaya Karya. Sumber pembiayaan pembangunan Jembatan Suramadu diperoleh dari pemerintah (55 persen) dan pinjaman luar negeri dari Bank Exim of China (45 persen atau Rp 2,1 triliun). Anggaran dari pemerintah terdiri dari APBN, APBD Provinsi Jawa Timur, APBD Kota Surabaya dan APBD empat Kabupaten di Madura. 

Pada tanggal 27 Oktober 2018, Presiden Jokowi membebaskan tarif tol Surabaya-Madura (Suramadu). Kebijakan tersebut diharapkan pemerintah untuk mendongkrak kemajuan dan peningkatan daya saing Madura. Pemerintah menganggap selama ini jalan tol Suramadu memberikan pemasukan bagi negara tetapi tidak selaras dengan pertumbuhan ekonomi di Madura. 

Kebijakan pembebasan biaya jalan tol Suramadu menyebabkan pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) meminta subsidi dari pemerintah karena lesunya pengguna jasa penyeberangan ke dan dari Pulau Madura.  Gapasdap mendesak pemerintah memberikan subsidi berupa Public Service Obligation (PSO) untuk operator kapal penyeberangan lintas Ujung-Kamal agar operator kapal penyeberangan di lintas Ujung-Kamal tetap eksis meski tol Suramadu sudah digratiskan. Gapasdap menganggap keberadaannya tetap memiliki fungsi vital sebagai pendukung infrastruktur penghubung Surabaya-Madura, jika ada masalah teknis di jembatan Suramadu yang mengakibatkan jembatan tidak bisa dilalui, maka infrastruktur transportasi yang dipakai adalah penyeberangan. 

Ketika Presiden Jokowi menggratiskan Jembatan Suramadu yang awalnya adalah jalan tol, diduga tanpa disertai perangkat hukum yang menyatakan bahwa status Jembatan Suramadu sebagai jalan non-tol. Padahal ada konsekwensi jika perubahan status dari jalan tol menjadi jalan non-tol terkait pengembalian investasi pembangunan jembatan Rp 4,5 triliun, dan biaya pemeliharaan jembatan sepanjang 5,4 kilometer. 

Mempertimbangkan Rapid Assesment diatas, Penulis menyarankan kepada Pemerintah agar setiap pengambilan kebijakan hendaknya diawali dari telaah peraturan perundang-undangan agar potensi maladministrasi dari setiap kebijakan yang akan diterbitkan bisa diminimalisir. ()

Muslimin B Putra. Peminat Studi Kebijakan Publik.

Posting Komentar

0 Komentar