Libur Natal dan Tahun Baru

OPINI, ARUSMUDA.COM - Di Indonesia, Natal dan Tahun Baru ditetapkan sebagai libur nasional. Di Belanda, Natal dan Tahun Baru juga ditetapkan sebagai libur nasional. Di Indonesia, Idul Fitri dan Idul Adha, ditetapkan sebagai libur nasional. Di Belanda, Idul Fitri dan Idul Adha tidak ditetapkan sebagai libur nasional.

Jika umat Nasrani dapat puas dan tenang beribadah di hari raya mereka di Indonesia, kami, umat Islam di Belanda, harus tetap masuk kerja atau kuliah di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jika jam kerja/kuliah tidak bertepatan di waktu pelaksanaan salat Ied, maka kami akan menghadiri dulu salat Ied baru setelahnya masuk kerja/kuliah. Jika bertepatan, kami harus memeilih, bolos kerja/kuliah atau bolos salat Ied.

Agama mayoritas di Belanda adalah Nasrani (Protestan dan Katholik), jadi wajar jika Natal dan Tahun Baru diliburkan. Agama mayoritas di indonesia adalah Islam, jadi wajar jika Idul Fitri dan Idul Adha menjadi libur nasional. Jika dalam sudut pandang jumlah pemeluk adalah wajar hari raya mereka diliburkan, maka dapatkah diartikan bahwa jika ada agama minoritas, namun hari rayanya juga ditetapkan sebagai  libur nasional, adalah tak wajar? Atau sebaliknya, jika indonesia disebut  sebagai negara toleran karena mengakomodasi hari libur negara untuk agama minoritas, dapatkah dikatakan bahwa Belanda itu intoleran karena tidak mengakomodir hari raya agama minoritas?

Penulis ingin memfokuskan tulisan ini dalam kajian keindonesiaan

TOLERANSI
Dalam sudut pandang global, penulis tidak mau mengatakan umat Kristinani di Belanda intoleran dengan tidak menetapkan hari raya ied sebagai libur nasional, itu hak mereka. Namun dalam soal hari libur nasional ini saja memahamkan kita bahwa kaum muslimin Indonesia adalah kaum yang sangat toleran terhadap agama lain.

Meskipun Islam mayoritas. Meskipun pahlawan nasional mayoritas muslim. Meskipun anggota panitia sembilan, founding father bangsa ini, delapan orangnya adalah muslim, bahkan sebagian besarnya adalah ulama. Meskipun setelah Indonesia merdeka lalu Belanda ingin kembali menjajah Indonsia, para ulama dan satrilah yang bergerak untuk melawan. Meskipun pekikan Bung Tomo di hari pahlawan adalah pekikan takbir. Sederet fakta superioritas Islam tidak menjadikannya mau memonopoli bangsa ini.

Betapa tolerannya Islam di Indonsaia, rela memberikan hak yang sama kepada minoritas. Semua hak yang dimiliki umat Islam sebagai mayoritas, juga mereka biarkan dimiliki oleh umat minoritas, sama banyaknya: pendidikan, kebudayaan, ibadah, rumah ibadah, termasuk libur nasional.

Negara tetangga, Malaysia dan Brunei yang punya agama, kulit, dan budaya yang sama dengan Indosneia, mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara, namun betapa tolerannya muslim di Indonsia, menjadikan pancasila sebagai dasar negaranya. Tidak saja itu, sudah rela mengalah dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, bahkan umat Islam pun kembali mengalah, rela mengubah kesepakatan yang telah mufakat, yang telah bulat sebelumnya, karena adanya saudara non muslimnya yang tidak menerima kesepakatan yang telah dirumuskan berhari-hari tersebut: hilangnya tujuh kata dalam piagam Jakarta saat disahkan menjadi sila pertama pancasila.

Betapa tolerannya muslim di Indonesia, jika di Belanda, azan tidak boleh terdengar di luar masjid, Nasrani di Indonesia dan semua agama bebas mengeluarkan suara loncneg-lonceng rumah ibadah mereka.

Tidak perlu mengajarkan kaum muslimin Indonesia tentang toleransi. Sejak zaman pra-kemerdekaan sampai hari ini, kami selalu memegang teguh prinsip toleransi.

WARNING INTERNAL
Dalam sudut pandang internal kaum muslimin Indonesia, penetapan hari raya non muslim sebagai libur nasional cukuplah disebut sebagai kekalahan kita atau kemenangan bagi mereka. Parameter kemenangan dalam invasi minoritas terhdap mayoritas, tidak saja hanya diukur dari kemampuan mereka untuk menguasai mayoritas atau dari minoritas mereka bisa menjadi mayoritas. Namun juga kemampuan mereka untuk mensejajarkan pemberian hak-hak yang sama baik mayoritas dan minoritas. Semuanya dibuat harus sama: hari raya, mendirikan rumah ibadah, beribadah, masuk parlemen, pendidikan, dll, sudah cukup sebagai sebuah kemenangan bagi mereka. Dan tentu, jika bisa mendapatkan lebih dari itu, akan terus mereka upayakan.

Kasus ini mirip dengan teori ghaswul fikr bahwa dalam menjalankan aksinya, mengalahkan kaum muslimin, tidak harus dengan menjadikan mereka berpindah dari agamanya ke agama yang lain. Namun cukup dengan menjadikan mereka tetap muslim namun sudah hilang identitas keberislaman dalam dirinya. Seperti kata Gladstone, mantan perdana menteri Inggris, “Kita cukup mengangkat alquran dari dada para pemudanya.” Meskipun agamanya masih Islam, namun alquran telah tidak ada dalam kesehariannya, kebanggaan pada Islam telah hilang, hedonisme dan materialisme dijadikan tutujuan. Ini sudah cukup menjadi sebuah kemenangan.

Tindak lanjut dari kemenangan awal mereka tersebut dalam penyamaan hak kebijakan, sudah mulai berbuah hasil dalam ukuran  kuantitas. Jika dulu di awal kemerdekaan, data statistik menunjukkan bahwa jumlah kaum muslimin di Indonesia di atas 90 persen, kini proporsinya tinggal 80%. Jadi, dalam rentang waktu setengah abad, pertumbuhan quantitas non muslim mencapai di atas 10%. Perlu dicatat, peningkatan 10% ini terjadi tanpa perang fisik.  Penampakannya memang kita banyak, namun secara halus dan rapi mereka terus memperkuat diri secara kualitas dan kuantitas.

Jika per-setengah abad jumlah mereka terus meningkat sekita 10%, berarti mereka hanya butuh waktu 500 tahun (lima abad) untuk menjadi mayoritas dan menguasai Indonesia. Sekarang, mayoritas pemerintahan dan kebijakan mssih dipegang oleh kaum muslimin, namun lima abad ke depan, boleh jadi sudah tidak ada.

Mari kita belajar dari Andalusia (Spayol sekarang), yang dulunya dikuasai oleh kaum muslimin. Andalusia, tunduk dalam pemerintahan Islam dari tahun 92 H/711 M hingga tahun 797 H/1492 M, sekitar 800 tahun (8 abad). Jika Andalusia saja dnegan segala kegemilangannya, menjadi pusat peradaban Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintahan dan penerapan hukum yang 100% islami, bisa diruntuhkan dan diambil alih dalam waktu kurang dari 800 tahun, lalu bagaimana dengan Indonsia? Lima abad adalah logis.

Tulisan ini tak bermaksud untuk pesimis, namun sebagai pemantik untuk untuk berbenah. Pekerjaan rumah kaum muslimin di Indonesia masih banyak. Jika mereka terus bergerak, maka kita juga harus bergerak lebih cepat dan lebih cerdas sembari terus beristigfar dan memohon pertolongan Allah.

Di hari natal
Selasa, 25 Desember 2018
Pukul 16.03 CET
@Samping Gereja Wageningen, Kota Wageningen, Belanda

Andi Muh. Akhyar, M.Sc. Pengurus Yayasan Internasional Islamic Center Wageningen, Belanda.

Posting Komentar

0 Komentar