Refleksi; Kampus Sebagai Pusat Peradaban

Catatan Selamat Datang Untuk Mahasiswa Baru

Untuk memahami dunia dengan cara berbeda, kita harus bersedia untuk mengubah sistem keyakinan kita, membiarkan masa lalu berlalu, memperluas rasa kekinian kita, dan melarutkan rasa takut dalam pikiran kita
William James

Kampus harus dijadikan taman pengetahuan, bukan tempat doktrin, agar terbebas dari berbagai bentuk kekerasan
Eko Presetyo

OPINI, ARUSMUDA.COM - Kampus dan seluruh pernak-pernik yang ada di dalamnya selalu menarik dan menggairahkan untuk dibahas. Bukan karena kemegahan bangunannya yang bertingkat tinggi atau karena keindahan tamannya yang dilengkapi air mancur dan lampu disko taman yang menjadi pemicu naiknya biaya SPP untuk membayar tagihan listrik.

Hal ini semakin menarik dikarenakan kampus telah menjelma menjadi pusat entertainment, karena dilengkapi dengan student mall, tempat para penghuni kampus melakukan kongkow untuk menggoda lawan jenisnya. Sementara ruang-ruang kelas yang harusnya dirindukan sebagai tempat perkelahian gagasan dan saling membantai ide bagi para mahasiswa maupun dengan para dosen yang mengajar, seolah terlupakan.

Rasanya kurang nikmat jika mendiskusikan kampus, tetapi tidak mendiskusikan mahasiswanya. Terutama mahasiswa yang diberi label dengan jubah kebesaran dan sejarah kehebatannya. Hal ini tak akan terjadi jika tak ada doktrin turun-temurun dari para senior.

Jika kita kembali menilik sejarah ketika sebuah universitas didirikan di Bologna pada tahun 1088 yang bertujuan untuk memberikan jaminan akan adanya kebebasan akademik (academic freedom) di mana dalam proses membangun komitmen tersebut dikukuhkan dalam sebuah piagam yang dikenal dengan Magna Charta Universitatum yang informasi terakhir telah di tandatangani 755 universitas dari seluruh dunia.

Berdalil pada piagam tersebut tentunya kita dapat memahami bahwa kampus sejatinya adalah tempat mendiskusikan dan memproduksi ilmu pengetahuan untuk melahirkan insan intelektual yang berkeadaban.

Olehnya itu seharusnya tujuan tertinggi seseorang yang memasuki dunia kampus adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan melakukan praktik keadilan. Tidak sekadar menciptakan kegembiraan atas kesenangan fisik, apalagi berorientasi pada proses penghancuran mental/kerakter dan merusak secara fisik.

Kampus dengan bangunan megah bukanlah tolak ukur tercapainya cita para mahasiswa. Ruang-ruang kelas yang dipenuhi pertanyaan dan disibukkan dengan perdebatan, adu argumentasi, pada intinya adalah sebagai proses membentuk mental dan karakter penghuni kelas untuk berani menyatakan kebenaran dan siap memperjuangkan keadilan.

Akan tetapi semuanya itu tentu tidaklah seindah dan semanis yang kita bayangkan. Mimpi indah yang mengantarkan manusia memasuki gerbang kampus, lalu menyandang predikat mahasiswa akan diuji oleh berbagai dinamika. Dinamika inilah yang akan menentukan seperti apa manusia-manusia itu menjalani predikat mahasiswa yang waktunya tidak lama.

Kehidupan kampus pada realitasnya dipenuhi dengan berbagai intrik. Ada yang memiliki label yang sama, yaitu sama-sama mahasiswa, mereka akan hadir sebagai senior untuk menjemput kedatangan para mahasiswa baru sebagai angin segar di dunia kampus.

Tetapi tidak semua akan membawa pada cita-cita indah. Ada yang akan mengarahkan pada kemegahan dunia mahasiswa yang penuh petualangan pengetahuan dan pemikiran, namun sebagiannya lagi akan membawa kalian pada kegembiraan atas kesenangan fisik, mereka akan menggiringmu menjadi “tentara” kampus untuk memperlihatkan kehebatan dalam medan pertempuran fisik, menjadi kelompok jagoan yang menakutkan dan menyeramkan bagi kelompok lain.

Bukan hanya itu, di balik bangunan untuk menciptakan premanisme, di dalam kehidupan kampus, ada juga segelintir orang yang berkepentingan terkait dengan proyek kampus yang menggiurkan. Mengingat kampus dengan jumlah puluhan ribu mahasiswa di dalamnya, ratusan milliar uang berputar mengubah kampus sebagai lahan politik  yang sangat mengerikan.

Perebutan jabatan-jabatan struktural strategis maupun kepentingan untuk masuk mengisi ruang-ruang di kampus, seperti menjadi dosen dan sebagainya, tidak terlepas dari permainan para elit politik negara untuk kepentingan jangka panjang, dan korbannya adalah para mahasiswa yang punya mimpi indah tentang dunia kampus.

Mimpi itu akan sirna hanya karena provokasi primordial baik suku, agama, jurusan, fakultas bahkan dogma ideologis dari orgnisasi masing-masing yang sejatinya ditempati untuk membentuk karakter dan mengolah kualitas intelektualnya.

Dalam beberapa waktu terakhir, dunia kampus yang ketika di masa orde baru dihantui oleh militerisme dan pasca reformasi mulai kembali ke habitatnya, kini seolah kembali ke masa lalu, tetapi dengan kemasan yang berbeda.

Hantu-hantu baru yang kembali berkeliaran di kampus-kampus sekalipun sudah bermetamorfosis di mana dahulunya adalah militer yang manjadi alat negara untuk menciptakan ketertiban dan kepatuhan terhadap gerakan kritis mahasiswa, kini hantu tersebut adalah mahluk yang lahir dari rahim mahasiswa itu sendiri yang punya hasrat untuk menjadi jagoan, lebih familiar disebut “preman bertopeng mahasiswa”.

Tentu ini tidak lepas dari pola-pola pembelajaran doktriner yang tidak mencerdaskan. Hasilnya, mahasiswa yang menggunakan kacamata kuda, yang tidak dapat menerima heterogenitas dalam berbagai aspek yang sudah menjadi hukum dalam kehidupan kampus, menjadi liar.

Sudah saatnya kita mengakhiri proses pembodohan yang dilakukan komplotan yang terus berusaha menghapus impian dan tugas mahasiswa sebagai kelompok cendekia. Juga mengakhiri kelompok yang terus memelihara ancaman. Jika tidak, maka kultur seperti itu hanya akan membunuh akal sehat dan keyakinan kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Jika akal sehat sudah tidak berfungsi, maka yang akan hadir dalam dunia kampus adalah brutalitas dan kebencian yang jauh dari nilai-nilai keadaban. Akhirnya, kita bernanung di bawah kampus intelek tetapi menjalani kehidupan seperti barbar.

Kehidupan kampus telah mengalami pergeseran nilai dalam proses implementasinya. Terutama nilai kemahasiswaan, sudah tidak lagi memiliki nilai-nilai keadaban. Contohnya, kampus telah dijadikan arena tawuran antar mahasiswa yang sejatinya adalah arena pertempuran intelektual.

Kondisi demikian tidak lagi dapat dijadikan sebagai percontohan dalam menciptakan harmonisasi kehidupan dalam peradaban modern hari ini. Dinamika demikian terjadi diakibatkan oleh pola doktrin yang sempit dan berakar pada nilai-nalai primordial sektarian yang tidak membentuk kedewasaan berpikir.

Mahasiswa tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga mereka tidak mampu membedakan mana peradaban dan mana kebiadaban. Padahal, kita mengharapkan kampus sebagai cerminan peradaban, sebagai ruang untuk mengekspresikan pemikiran yang berorientasi pada kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa ada yang dirugikan.

Hancurnya dunia kampus juga tidak lepas dari ambruknya kekuatan kritis  yang selama ini identim dengan mahasiswa. Terjadi proses pendangkalan budaya intelektual yang mengakibatkan kekeringan dalam perumusan wacana.

Tentunya fenomena-fenomena demikian, tidak serta merta hadir dan berkembang biak dalam kehidupan kampus. Ketidakmampuan mahasiswa membedakan mana yang manis dengan mana yang pahit, mana mencerdaskan serta mencerahkan dan mana pembodohan serta mengkerdilkan juga dikarenakan bobroknya moral lembaga-lembaga pendidikan kita.

Ini mengakibatkan tindakan barbar dalam kehidupan kampus terus terjadi. Ironisnya, birokrasi kampus yang seharusnya mempunyai kewajiban untuk memberikan pencerahan terhadap mahasiswa, justru malah menjadi pihak yang seakan-akan membuat mahasiswa bertindak amoral, karena kebijakan-kebijakan kampus yang dianggap merugikan mahasiswa.

Berangkat dari dinamika tersebut, maka kita perlu kembali melirik apa yang disampaikan oleh Henry Giroux dan Susan Searls Giroux terkait critical pedagogy theory yang bercita-cita untuk mewujudkan dunia kampus agar hadir memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan dan kesetaraan.

Untuk itu, kampus harus membuka ruang-ruang publik yang kritis. Kampus harus menjawab panggilan etis sebagai peradaban intektual untuk mewujudkan demokrasi, kesetaraan dan keadilan sosial. Kritikan pedas bagi kampus yang hari ini hadir hanya sebagi pencetak tenaga kerja dan menghilangkan nilai-nilai humanitas dalam dunia kemahasiswaan.

Kampus yang memiliki derajat tinggi dikarenakan cita-citanya, tujuannya, lingkungan yang ilmiah, kreativitas, aktivitas, dan produktivitasnya, harusnya mampu mengubah arah dan masa depan masyarakat dunia, karena segala kebijakan dunia berangkat dari produk ilmiah yang dilahirkan kampus.

Olehnya itu, kampus dapat dikatakan sebagai pusat peradaban yang menentukan masa depan dunia. Dari lorong-lorong kampus yang mengedepankan nilai-nilai intelektual (keilmiahan) inilah, banyak melahirkan tokoh-tokoh super yang dapat mewujudkan perbaikan tatanan kehidupan manusia.

Kampus merupakan taman-taman intelektual umat manusia yang memberikan kebebasan dan kemerdekaan dalam berpikir. Kemerdekaan dan kebebasan dalam intelektualitasnya itulah yang melahirkan berbagai produk pemikiran yang mengubah arah dunia bahkan mampu membuka tirai rahasia-rahasia Tuhan di dalam alam semesta.

Olehnya itu, kita semua tentu tidak ingin merawat apa yang pernah dikatakan oleh Romo Mangun, bahwa saat ini mahasiswa muncul sebagai penindas baru dalam masyarakat yang ditopang oleh intelektualitas dan energi emosional yang tinggi.

Kita harus meninggalkan tradisi menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Saatnya kita membuktikan mitos bahwa rasionalitas dan moralitas adalah sesuatu yang melekat pada diri mahasiswa. Sudah waktunya kita menanggalkan identitas mahasiswa yang hanya dipahami secara dogmatis untuk melakukan transformasi kearah yang lebih substansial.

Maka dari itu kita membutuhkan kearifan serta membutuhkan kecintaan karena peradaban kampus yang kita impikan niscaya tak akan terwujud di atas kekerasan dan kebencian.

Sudah waktunya untuk kembali menggantungkan impian kita dengan langit kampus sebagai saksi bahwa perubahan dunia ke arah yang semakin baik, dikonstruksi dari kehidupan penghuni kampus.

Jadikan ruang kuliah, sudut-sudut kampus, taman-taman kampus, kantin dan segala fasilitas kampus sebagai ruang beradu gagasan untuk menciptakan iklim yang penuh dengan khasanah intelektual dan melahirkan ide-ide yang revolusiner.

Birokrasi kampus harus melibatkan mahasiswa dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis kampus untuk menopang agar kualitas tradisi intelektual semakin baik sebagai basis gerakan sebuah kampus.

Selain itu, kampus juga harus memberikan ruang bagi gerakan mahasiswa yang memiliki kepedulian sosial, kepedulian terhadap tindakan semena-mena negara yang memproduksi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Jika dimungkinkan birokrasi kampus hadir bergandengan tangan dengan mahasiswa dalam memperjuangkan kepentingan masyakat yang dimarjinalkan oleh kebijakan negara.

Kampus harus dijadikan sebagai pusat pembentukan manusia yang memiliki nilai-nilai keadaban, ditopang oleh kehidupan organisasi mahasiswa yang sehat dan mengedepankan pembentukan karakter yang positif di atas pondasi intelektualitas.

Mari belajar dari tokoh proklamator kita, Bung Karno, seorang mahasiswa teknik yang tidak hanya menjadikan ilmunya sebagai alat untuk membangun gedung tetapi membangun jiwa rakyat untuk bangkit dan menyatakan kemerdekaan dari proses penjajahan dan kolonilisasi.

Begitupun dengan disiplin-disiplin ilmu lain, harus menjadi gerbang pengetahuan yang siap memberikan kekuatan untuk membebaskan rakyat dari belenggu ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan yang menjadi musuh bangsa kita hari ini.

Untuk itu, seluruh penghuni kampus marilah bersama-sama menciptakan peradaban yang sesungguhnya dengan membangun dialog tanpa ada yang dirugikan. Perlu berbenah,  birokrasi kampus dan seluruh mahasiswa untuk bersama-sama menjahit kembali impian kita. Impian bahwa kampus sebagai pusat lahirnya peradaban yang telah lama sobek, kini kembali utuh. Hal Ini menjadi tantangan besar bagi kita, olehnya itu mari berbenah dan melangkah.

Selagi peradaban berkembang, begitu pula nafsu, api akan membesar terus dan menyebabkan berbagai malapetaka, pada akhirnya seluruh dunia akan binasa. Jika manusia ingin selamat, api harus dipadamkan, itu berarti meredam nafsu dan hidup wajar
Osamu Tezuka

Abdul Gafur. Ketua Bidang Politik dan Kebijakan Publik DPD IMM Sulawesi Selatan

Posting Komentar

0 Komentar