Demokrasi Sialan

OPINI, ARUSMUDA.COM  --  Praktik demokrasi kita selama ini, sebagaimana yang kerap di warnai dengan hadirnya penumpang gelap berpredikat 3 B, yaitu; Bandar, Bandit dan Badut. Aktor 3B itu, masih gentayangan di setiap Event Dermokrasi Pemilukada. Mereka berkolaborasi mengeksploitasi rakyat, untuk memenangkan kepentingan bersama mereka.

Wujud praktik demokrasi di sejumlah belahan dunia memang tampil beragam. Para ahli ilmu politik mengakui bahwa tak ada wujud seragam tampilan demokrasi. Praktik demokrasi di setiap negara, berbeda antara satu dengan lainnya, karena dipengaruhi oleh sejumlah variabel yang tak sama, yaitu; ideologi, budaya, dan kapasitas SDM (khususnya dari kalangan elit negara bersangkutan), serta karakter dan sejarah masyarakat masing-masing negara yang mempraktikkan demokrasi tersebut.

Karena itulah, maka demokrasi, adalah sebuah subjek pokok yang selalu diikuti oleh predikat yang bermacam-macam. Di zaman Orla kita pernah mempraktikkan demokrasi parlementer, kemudian demokrasi terpimpin model Bung Karno yang tampil dalam kemasan akronim Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis) tetapi kemudian dikritik oleh Abd. Qahhar Mudzakkar sebagai demokrasi yang menyatukandangkan kucing dan burung. Qahhar pun meledek Bung Karno dengan istilah Demokrasi Burung Beo yang hanya menjadikan rakyat sebagai Pak Turut terhadap pemimpinya.

Di Zaman Orba, demokrasi dilekatkan dengan Pancasila (Demokrasi Pancasila) tapi itu hanya predikat tanpa makna sesungguhnya, karena Pancasila hanya dijadikan sebagai stempel legitimasi kepentingan statusquo rezim bersangkutan.

Demikian pula halnya ketika Orba tumbang dan Reformasi sebagai alternatif dengan menawarkan demokratisasi di seluruh sistem kehidupan bernegara. Politik pun di demokratisasi dengan membuka kesempatan mendirikan dan menjalankan partai secara bebas sesuai tuntutan prinsip demokrasi. Lantas apakah kemudian praktik demokrasi kita sudah sesuai harapan rakyat sebagai tempat demokrasi berhikmat?
Ternyata, tidak mudah mewujudkan demokrasi sebagaimana harapan rakyat. DR. Riant Nugroho, pakar Kebijakan publik pernah melansir bahwa praktik demokrasi di dunia telah menghadirkan Demokrasi 3 S.

Demokrasi 3S pertama, adalah Demokrasi Sinaran, yaitu demokrasi yang bersinar-sinar, sehingga membuat bangsa bersangkutan, tercerahkan. Tata kelola negara menjadi terang benderang, akibat prinsip transparansi dilaksanakan di semua level institusi. Tidak marak lagi dusta antara politisi legislatif dan aparatur negara di eksekutif dalam mengelola uang negara. Uang negara dikelola untuk kepentingan rakyat. Demokrasi bersinar menerangi kehidupan bangsa.

Demokrasi S kedua, adalah Demokrasi Siaran, yaitu demokrasi yang hanya ramai diperbincangkan dan disiarkan di media massa. Diwacanakan oleh kaum intelektual dalam berbagai varian dan manfaatnya. Sebuah demokrasi yang hanya ramai di tingkat parle (perbincangan) di parlemen (orang pembicara). Demokrasi, baru sebatas Talking Demokracy belum menjadi Working Demokracy. Demokrasi, masih sebatas NATO (No Action, Talk Only). Negara pelopor demokrasi antusias mempropagandakan demokrasi di negara berkembang, sementara mereka sendiri mempraktikkan demokrasi dengan standar ganda.

Demokrasi S terakhir, adalah Demokrasi Sialan. Demokrasi jenis ini, adalah demokrasi yang telah dibajak oleh elit politik, elit ekonomi, dan hanya dijadikan obyek proyek yang menguntungkan kepentingan mereka, sementara rakyat hanya menjadi obyek eksploitasi. Rakyat hanya menjadi obyek pelengkap penderita akibat Demokrasi Sialan.

Mantan perdana menteri RI M. Natsir pernah menyatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah Demokrasi Teistik yaitu Demokrasi yang berketuhanan. Hal itu di dasarkan bahwa negara berdasarkan Ideologi Pancasila dengan sila pertama yang menyatakan: Ketuhanan yang Mahaesa. Artinya negara haruslah dikelola berdasarkan prinsip Ketuhanaan.

Masalah Ketuhanan tersebut, telah diperjelas dan dipertegas oleh Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, melalui penjelasan yang meyakinkan oleh Teuku Mohammad Hasan (anggota PPKI) melalui bujukan M Hatta, bahwa ketuhanan yang Mahaesa itu, tidak lain bermakna Tauhid (Ki Bagus Hadikusuma, Pilar Media, 2005).
Namun, model dan praktik demokrasi di Indonesia hingga hari ini, justru semakin menjauh dari prinsip Tauhid. Tuhan tidak lagi ditakuti untuk ditaati perintah dan laranganNya oleh pemimpin bangsa dalam bernegara. Agama-NYa melalui Ulama agama-Nya justru dikriminalisasi, dan dibiarkan dilecehkan.

Negara telah mengkhianati Sila Pertama, kemudian seterusnya mengabaikan dan lalai mengamalkan sila-sila berikutnya, terutama sila keadilan sosial. Kesenjangan kaya miskin semakin memprihatinkan, makin melebar tak terkendali. Utang makin menumpuk Rp 3600 triliun melampaui APBN.

Dalam keadaan demikian, maka semakin nyata terasa, bahwa praktik demokrasi di negeri ini sudah benar-benar menjadi Demokrasi Sialan. Inilah bentuk terburuk dari praktik demokrasi yang saat ini masih sedang dipraktikkan di negara ini. Apakah kita termasuk bangsa yang sial? Kita pasti menolak disebut sebagai bangsa sialan. Karena itu, mari bersama meningkatkan kualitas demokrasi kita. Hadirkan Tuhan dan Nurani dalam berdemokrasi. Wallahu A'lam

Aswar Hasan. Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Selatan


*Tulisan ini telah dimuat di kolom Harian Fajar

Posting Komentar

0 Komentar