Anggota Dewan dan THR (Terhormat)

ESAI, ARUSMUDA.COM - Daripada nunggu THR belum juga cair mari kita bahas THR yang satu ini. THR yang saya maksud bukan Tunjangan Hari Raya melainkan TERHORMAT.

Darimana istilah Anggota Dewan Terhormat? Apa indikatornya? Apakah kita harus percaya kehormatan melalui proses yang memang sudah tidak terhormat. Menyaksikan anggota DPR berantem kok saat ini kita baru sok kaget? Kok kaget sih, kok kecewa sih. Kehormatan itu dimulai dari cara rakyat menghormati hak suaranya. Menghormati hak suara berarti menjiwai pilihannya.

Toh pada dasarnya memaknai pilihan sebagai sesuatu pelepasan/penyerahan sebagian kehormatan. Bagaimana bisa dikatakan melahirkan anggota dewan terhormat jika keputusan kita hasil lumpuh dihadapan uang seratus beberapa lembar. Bukankah itu sama halnya kita sedang melacurkan kehormatan kita.

Wakil rakyat ? Oh ya jangan berhenti pertanyakan yang satu ini. Sudahkah mereka mewakili rakyat? Apa indikator keterwakilannya? Mana buktinya? Tentu itu akan terjawab sendiri dengan prilaku mereka sehari hari. Ya, perlu penelitian khusus sosiologi wakil rakyat dengan pendekatan fenomenologi.

Beberapa group alumni membuat layar gadget saya menghangat. Mungkin ini karena perseteruan anggota DPRD Bone masih hangat. Hemat saya mengurai pihak yang bertikai tadi siang itu tak semudah menonton film sinetron di Indonesia pada umumnya.

Apakah yang naik di atas meja adalah pihak antagonis? Sebaliknya yang teriak berdiri dari kursi empuknya? Atau yang bersetia duduk menonton keseruan tersebut sebagai protogonisnya. Saya kira sulit ditebak.

Mengapa sulit? Karena gaya dalam parlemen sulit lepas dari intrik, manuver bahkan drama kepentingan. Kalau tidak percaya, tanya kedua belah pihak saya pastikan mereka masing-masing menyatakan diri mewakili rakyat. Kalau kita bisa tanya lagi, rakyat yang mana, Pak?

Oh ya, kembali ke kejadian tadi. Sepintas ada teriakan yang menggema nan cukup menggelitik telinga saya yakni "kurang ajar" diucapkan dengan suara yang lantang sembari naik di atas meja di gedung perwakilan. Kira-kira itu juga kategori kurang ajar.

Tapi bagaimana jika hal tersebut dilakukan untuk menolak sesuatu yang dianggap kurang ajar juga?

Membahas kekurangajaran di DPR itu menarik dan semoga saja tulisan ini tidak dianggap kurang ajar juga. Apakah yang duduk manis di DPR terus terima gaji perbulan dengan berbagai insentif tanpa kerja bukan bentuk kekurangajaran?

Aatu mereka yang semakin memperkaya diri, berlumur hasrat jabatan dan kekuasaan juga bukan satu model yang kurang ajar? Ah...

Dalam analisis sosiologi kritis sudah lama saya mencurigai bahwa label "terhormat" dan "wakil rakyat" adalah jubah persembunyian. Mereka rajut sakral sedemikian rupa agar rakyat takut merabanya.

Hari ini, karena tak akur dari dalam lipatan sehingga mereka sendiri yang merobeknya. Kejadian semacam ini biasanya tak disangka-sangka punya pesan tersirat.

Kita perlu jeli dan teliti melihat ini sebagai momentum evaluasi kerja-kerja anggota DPR. Penting untuk mengetahui tegangan dan tarik menarik kepentingan di DPR.

Penting untuk membaca aktor yang bermain dalam konstalasi. Penting untuk mengevaluasi sikap partai. Penting untuk memetakan dimana sih posisi rakyat dalam dinamika tersebut? Dan segundang ke-penting-an yang lainnya.

Hmmm. Memang perilaku politik paling absurd, antara kata dan perbuatan sulit akur dalam pembuktian. Olehnya itu penting untuk melakukan verifikasi terkait motif mengapa sikap politik itu diambil. Agar kita tak sekadar masuk pada poros suka vs tidak suka atau dukung vs bully.

Sekian uraiannya... Semoga bisa didiskusikan.

Sopian Tamrin, S.Pd., M.Pd., Staf Pengajar FIS UNM, Direktur Eksekutif Education Corner.


Posting Komentar

0 Komentar