Politik Tubuh Perempuan

OPINI, ARUSMUDA.COM - Setidaknya itulah gambaran kondisi yang dialami sebagian besar kaum perempuan saat ini sebagai konsekuensi penuntutan diri untuk akrab dengan dunia luar.

Mereka yang selalu menuntut kesederajatan dengan kaum laki-laki yang dari sejak dulu dicap sebagai musuh yang menindas dan mengeksploitasi diri mereka kini telah berhasil keluar dari zona keterpurukan tersebut.

Dengan berbagai bentuk perlawanan dan perjuangan kaum perempuan, sebutlah ide emansipasi, keadilan dan kesetaraan gender serta kebebasan hingga sampailah mereka pada visinya untuk memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai hal, terutama hak yang sama di ruang publik.

Meredamnya persoalan dengan kaum laki-laki ini salah satunya berkat kedatangan kawan baru yang mencoba mengeluarkan mereka dari keterpurukan itu. Kawan yang mencoba merangkul dan menyelamatkan perempuan dari segala bentuk eksploitasi. Kawan yang membawa perempuan mengenal jauh dunia luar (publik) bahkan memberi ruang untuk menempatkan mereka pada posisi-posisi yang mampu mengekistensikan dirinya.

Namun, sadarkah mereka bahwa kawan baru itulah musuh nyata yang jauh lebih perkasa dan beracun yang akan menghancurkan derajat keperempuanan. Sudahkah terbayang siapakah kawan yang sejatinya adalah musuh?

Yap. Kapitalisme. Sistem kapitalisme sadar atau tidak sejatinya memang telah menghancurkan kehidupan manusia.

Perempuanlah yang menjadi objeknya. Betapa tidak, kapitalisme dengan sistem pengejaran materi semaksimal mungkin dengan berbagai strateginya termasuk menggunakan tubuh “fantasi” perempuan telah menjadikan perempuan sebagai komoditas yang menguntungkan bagi para kapitalis.

Norma dan moralitas dalam masyarakat konsumtivisme pun dilanda krisis yang membuat pusat ketertarikan digantikan oleh ekonomi libido. Inilah yang disebut fetisme masyarakat modern, dengan fenomena komodifikasi fitur tubuh perempuan dalam media massa maupun secara langsung melalui SPG (Sales Promotion Girls).

Fenomena ini kemudian ditangkap produsen dengan meluncurkan berbagai produk dengan memanfaatkan ekonomi libido sebagai daya tarik dalam mengambil peluang bisnis.

Tubuh perempuan telah dicenderungkan menjadi alat persuasif yang digunakan untuk melariskan berbagai produk dalam usaha memberikan daya tarik erotis pada produk tersebut.

Selain sebagai media penyalur informasi kepada masyarakat, perlu diketahui bahwa trik-trik kapitalis menempatkan seks dan tubuh perempuan sebagai bumbu dalam menarik perhatian masyarakat untuk melihat, menonton, dan kemudian mengkonsumsi produk-produk tersebut.

Sebagaimana yang diungkapkan Baria (2005: 11), bahwa bagi produsen dan pengiklanan, tubuh perempuan tidak akan pernah surut memberi peluang yang menguntungkan.

Adapun SPG dengan mudah dapat kita ditemui terutama di pusat-pusat perbelanjaan seperti mall, super market, mini market, atau lokasi keramaian lainnya.

Perempuan-perempuan yang akan dijadikan sebagai SPG harus dipoles sedemikian rupa agar terlihat cantik bak selebritis, rambut panjangnya terurai, bersepatu high heels, dan pakaian yang terlihat “menyiksa” saking ketatnya, demi menarik perhatian pelanggan.

Tak pelak, berpenampilan menarik (seksi) menjadi syarat mutlak. Mereka pun tak peduli telah menjadi “santapan” empuk sang pelanggan yang notabene didominasi oleh kaum laki-laki.

Selain itu, kemampuan bertutur juga menjadi perhatian yang sangat penting demi menunjang kelancaran berkomunikasi dengan pelanggan. Meski begitu, kadang-kadang mereka juga harus menelan kekecewaan lantaran dicueki atau bahkan digoda pelanggan.

Maka perempuan pada tataran hakikinya telah menjadi korban yakni perempuan seolah-olah dipaksa melakukan “perekayasaan” tubuh dan aksen libido yang melekat padanya, agar sesuai tuntutan produksi industri.

Realitanya kini perempuan sesungguhnya bukan hanya menghadapi musuh lama (laki-laki), tetapi musuh baru yang jauh lebih perkasa, yaitu kapitalisme. Laki-laki bahkan dimanfaatkan bersama-sama dengan kapitalisme untuk melestarikan struktur hubungan gender yang timpang.

Pelestarian ketimpangan tersebut tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tetapi juga menyebabkan terjadinya subordinasi perempuan oleh perempuan sendiri.

Hal ini tampak dari posisi yang ditempati perempuan dalam iklan yang mana di satu sisi perempuan merupakan alat persuasi di dalam menegaskan citra sebuah produk dan di sisi yang lain perempuan merupakan konsumen yang mengkonsumsi produk kapitalisme (Abdullah, 2001: 32).

Fenomena ini kemudian menimbulkan berbagai dampak yang cukup memprihatikankan bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan itu  sendiri, diantaranya:

Perempuan kembali tereksploitasi
Hal ini dapat dilihat dari seorang SPG yang dituntut untuk menjalankan tugas dengan memanfaatkan kemolekan tubuhnya demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain,  perempuan menjadi objek seksualitas demi melariskan produk yang dijajakannya.

Harga diri perempuan dan pelecehan
Kebebasan perempuan untuk bekerja di ranah publik merupakan hasil dari gerakan feminisme yang sangat diagung-agungnya di dunia Barat yang kemudian diadopsi oleh sebagian masyarakat Indonesia.

Berbagai tuntunan kerja dari perusahaan yang wajib mereka penuhi inilah yang kadang bertentangan dengan nilai kultur dan nilai agama.

Sebagai contoh, seorang SPG yang bekerja untuk produk rokok, serta kopi dan produk lainnya diharapkan mampu memikat para pria untuk bisa “terjebak” pada produk yang sebenarnya tidak begitu penting untuk segera dibeli dengan kemampuannya membujuk dan penampilannya yang menarik dan seksi.

Sadar atau tidak, perempuan dijadikan objek seksualitas demi pengejaran keuntungan sebanyak-banyaknya oleh kaum kapitalis. Ini justru meruntuhkan harga diri seorang perempuan.

Berdasarkan pengakuan para SPG yang  didapatkan di berbagai sumber penelitian, tidak sedikit dari mereka yang mengalami pelecehan  berupa colekan dan godaan dari konsumen.

Pengejaran materi dan pudarnya nilai-nilai agama dan kultural
Amat sangat disayangkan jika kemolekan tubuh, dan kecantikan paras seorang wanita dieksploitasi demi merebut pangsa pasar. Apalagi kapitalisme selalu berorientasi pada pengejaran keuntungan semaksimal mugkin sehingga mereka kadang tidak lagi peduli strategi yang digunakan apakah sesuai dengan nilai kesopanan dalam agama dan kulturnya.

Dengan kata lain, demi materi dan kesejahteraan duniawi, harga diri seorang perempuan menjadi tidak penting lagi bahkan moralitas dan nilai-nilai agama telah diabaikan. Sebab sistem ekonomi kapitalis akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Lahirnya generasi yang tak terdidik
Teracuninya benak perempuan dengan berbagai pemikiran yang merusak dengan embel-embel emansipasi dan kebebasan membuat para perempuan lebih tertarik beraktivitas di luar rumah (publik) bahkan merasa rendah diri dengan pelabelan ibu rumah tangga.

Hal inilah menjadi faktor lahirnya generasi tanpa asuhan dan didikan yang optimal oleh para ibu. Walhasil anak-anak tumbuh di lingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwa dan kepribadiannya.

Nurul Hikmah. Mahasiswa Sosiologi UNM.

Posting Komentar

0 Komentar