Dosen Muda IAIN Manado Bahas Puisi Ibu Indonesia di Warung Kopi

MANADO, ARUSMUDA.COM - Perbincangan soal puisi Sukmawati Sukarno Putri yang berjudul 'Ibu Indonesia" rupanya belum berakhir, pro kontra atasnya masih saja berlangsung di tengah masyarakat, termasuk di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (21/04/2018).

Adalah Komunitas Kedai Kopi Shaad bekerjasama dengan RAL FM yang menjadi penyelenggara diskusi dengan topik “Puisi Ibu Indonesia: Tinjauan Teologis”, yang menghadirkan dosen muda IAIN Manado, Arhanuddin Salim, Ph.D sebagai narasumber.

Kegiatan yang dimoderatori oleh Ketua Pegiat Literasi Sulut Faradila Bachmid ini dihadiri oleh para praktisi sosial, pegiat literasi, mahasiswa, para pecinta kopi serta masyarakat umum. 

Bagi Arhanuddin, puisi 'Ibu Indonesia', adalah semacam penanda sekaligus petanda terhadap identitas kultural kita sebagai bangsa. 

"Kenapa mesti 'ibu Indonesia'? Kenapa bukan bapak Indonesia?" Tanya penerima beasiswa Pertnership in Islamic Education Schoolarship (PIES) Australian National Uniersity (ANU) ini.

"Karena kata 'ibu' adalah sangkar bahasa yang mewakili identitas kultural kita, yang mana bisa diasosiakan menjadi ibu pertiwi. Ibu adalah tempat kembali, ruang bertemunya imajinasi-esensial dengan kenyataan-eksistensial," terangnya.

Menurut Ketua PW Pemuda Muslimin Indonesia Sulut ini, puisi 'ibu Indonesia' sesungguhnya ingin mengembalikan kita pada fitrah-kebangsaan, membuka selubung imajiner kita yang lama mengendap dan tertutupi oleh identitas kultural trans-nasional (Eropa, Timur Tengah, Arab, dll).

"Dalam konteks teologis, puisi Ibu Indonesia seharusnya tidak diposisikan dalam term tekstualitas-dogmatis. Sebab, pemahaman agama yang cenderung dogmatis akan melahirkan penilaian yang cenderung oposi-biner/hitam-putih. Selalu memperhadapkan antara sorga-neraka, dunia-akhirat, pahala-dosa, yang celakanya karena pemahaman agama yang demikian ini membuat penganutnya menjadi wakil Tuhan di bumi." Papar alumni program doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. 

Lanjutnya, "Kontroversi Puisi Sukmawati ini, yang dianggap menistakan agama Islam, banyak dimotori atau dilokoni oleh oknum umat Islam yang mempunyai pemahaman agama yang cenderung dogmatis seperti yang diungkapan di atas,"

Dengan tegas Arhanuddin berdiri di posisi yang tidak menyerang Sumawati dengan membabi buta, baginya, "Penyebutan kata Azan, Cadar, dan Syariat Islam yang diperhadap-hadapkan dengan kidung dan konde, tentu bukan dimaksudkan bahwa Sukmawati dalam puisi tersebut berpretensi menistakan ajaran Islam."

"Sukmawati, sesungguhnya mewakili realitas lain, termasuk identitas (agama, budaya, suku, bahasa), yang akhir-akhir ini mulai dilupakan oleh bangsa Indonesia, yang cenderung memilih dan mematenkan identias kultural tertentu, lalu menafikan dan menegasikan identitas otentik (konde dan kidung) bangsa Indonesia yang sejak lama sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat," tutur Arhanuddin.

"Ruang imajinasi kita telah dimatikan dengan adanya identitas kultural yang baru ini, lalu kita lupa siapa diri otentik kita yang sebenarnya. Puisi Ibu Indonesia inilah yang berupaya mengingatkan kita kembali tentang jati diri kita sebagai bangsa yang besar." Pungkasnya.

Posting Komentar

0 Komentar