Evangelical Approach to Islamic Studies di Perguruan Tinggi Islam Indonesia

OPINI, ARUSMUDA.COM - Belajar tentang Islam di perguruan tinggi harusnya didekati dengan cara berbeda dengan belajar di pesantren, madrasah, atau halaqah-halaqah di surau dan masjid. Yang pertama mengedepankan sikap ilmiah dan akademik dalam mempelajari aspek-aspek keislaman.

Islam yang dikaji meliputi aspek ajaran, pemeluk dan institusi, ritual, praktik, dan tradisi dalam sebuah agama. Wataknya tidak menghakimi, menghindari penilaian keagamaan (sesat atau tidak) atas obyek kajian, betapapun ajaran dan praktiknya dianggap sesat.

Tidak patut jika seorang pengajar hanya menyajikan satu sudut pandang, apalagi memaksakan sudut pandang tersebut kepada mahasiswa. Mahasiswa diberi bekal perspektif yang beragam, tidak tunggal, agar mereka mempunyai kemampuan untuk menganalisis dan menarik kesimpulan sendiri atas obyek yang dikaji. 

Corak studi Islam yang seperti ini berbeda dengan belajar Islam di pesantren atau masjid yang mengutamakan sikap Imani atau imaniyah, confessional, dalam mempelajari ajaran-ajaran Islam. Wataknya adalah mengajarkan satu pemahaman atau keyakinan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang pengajar atau ustadz seringkali dengan mudah memberi penilaian atas ajaran, keyakinan, atau suatu praktik keagamaan. Mana yang salah dan mana yang benar. Audien yang mendengarkan hanya mendapatkan satu sudut pandang atau pemikiran keagamaan yang simpel untuk diamalkan, bukan pemikiran kompleks yang dianggap membingungkan.

Dua pendekatan tersebut mempunyai domainnya masing-masing. Manfaat dan tujuan yang disasar juga berbeda. Yang satu bermaksud mencetak audien yang kritis dan memiliki kemampuan analisis atas sebuah obyek kajian sementara yang lain bertujuan untuk meng”indoktrinasi” agar mengamalkan sebuah pemahaman atau praktik yang dianggap benar.

Bagaimana jadinya jika pendekatan ilmiah-akademik dipakai untuk mengajarkan Islam di konteks pengajian masjid atau pendekatan imaniyah-dakwah dipakai di setting perguruan tinggi?

Jika metode ilmiah-akademik dipakai di pengajian, pesertanya bisa pusing, ngantuk, dan bingung dengan kompleksitas materinya. Pengajian menjadi tidak menarik. Dengan latar belakang bacaan dan pendidikan yang berbeda, audien akan sulit menentukan mana pemahaman keagamaan yang bisa diamalkan.

Tapi mungkin bagi sebagaian audien cara semacam itu tepat karena mereka mempunyai bekal bacaan dan pendidikan yang memadai untuk mencerna isi pengajian. Pencerahan pun bisa didapat.

Yang parah, dan ini umum terjadi, jika pendekatan pengajian dipakai di tingkat perguruan tinggi. Inilah yang saya sebut sebagai evangelical approach, pendekatan dakwah.

Mahasiswa hanya dicekoki satu model pemahaman dan cara beragama yang dianggap sahih untuk diamalkan. Perspektif dan pemikiran yang berbeda disingkirkan. Perbedaan pemikiran dan afiliasi kelompok keagamaan tidak dirayakan, tapi dihilangkan dengan penyeragaman. Islam berhenti di level imaniyah, kepercayaan (afeksi), tidak beranjak naik ke level ilmiyah, ilmu (kognisi).

Jika perguruan tinggi Islam masih mempertahankan corak imaniyah, dakwah, atau evangelical dan tidak segera beranjak ke corak ilmiyah dalam studi Islam, perguruan tinggi kita terus-menerus merasa unggul sendiri, dan paling hebat sendiri. Keunggulan dan kehebatan yang ilusif. Potensi untuk hebat dan unggul bukannya tidak ada.

Perguruan tinggi Islam dapat unggul dan hebat dalam kajian Islamnya dan ilmu-lmu lainnya jika berani bertarung dan berkompetisi dengan perguruan tinggi lain di dunia di level ilmiyah, bukan di level imaniyah. Semoga terwujud.

Muhammad Syifa Amin Widigdo, PhD. Dosen Studi Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Posting Komentar

0 Komentar