Kotak Kosong: Demokrasi yang Gaduh

OPINI, ARUSMUDA.COM - Perkembangan zaman tidak selalu meniscayakan kemajuan peradaban. Terkadang perkembangan zaman justru melahirkan gradasi nilai yang menjauhkan kita dari jalur yang semestinya sehingga apa yang menjadi gagasan dan cita-cita ideal juga semakin jauh untuk kita wujudkan. Kurang lebih seperti itupula yang terjadi pada demokrasi kita hari ini.

Sejak pemilu yang pertama kali diadakan pada tahun 2004 hingga saat ini, demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan masih sekedar menjadi teks semata yang belum mampu terinternalisasi dalam realitas demokrasi kita sebagaimana yang dikehendaki sila ke-4 Pancasila. Dari masa ke masa, pelaksanaan pemilu mulai dari tingkat pusat hingga di tingkat daerah selalu menyisakan ketidakpuasan dan kekecewaan.

Pada pilkada serentak, masyarakat diperhadapkan pada fenomena baru yakni pilkada kotak kosong. Pilkada kotak kosong adalah kondisi dimana hanya ada satu calon tunggal dalam perhelatan pilkada sehingga mengharuskan calon tunggal melawan kotak kosong.

Calon dinyatakan menang jika mampu memperoleh lebih dari 50 persen suara sebagaimana yang tertera pada UU No.10 Tahun 2016 tentang pilkada.  Pada pilkada serentak tahun 2017, sebanyak 9 daerah melawan kotak kosong. Angka ini mengalami peningkatan pada pilkada serentak tahun 2018. Tahun ini sebanyak 13 calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah akan melawan kotak kosong pada perhelatan pesta 5 tahunan ini. 

Fenomena kotak kosong adalah sebuah penyakit baru dalam demokrasi kita. Munculnya calon tunggal bukan dikarenakan hanya ada satu calon yang berkompeten, akan tetapi dikarenakan hanya ada satu calon yang memenuhi syarat pencalonan dalam jumlah minimal kursi di parlemen.

Mereka yang melawan kotak kosong adalah mereka yang memboyong hampir seluruh rekomendasi partai politik sehingga bakal calon yang lain tidak mampu mencukupi syarat minimal jumlah kursi untuk pencalonan. Sementara di satu sisi bukan hal yang tidak mungkin bahwa mereka memiliki kapasitas dan kompetensi, untuk ikut berkompetisi.

Munculnya calon tunggal dalam pilkada, kemudian menggiring kita untuk mempertanyakan proses kaderisasi yang terjadi di partai politik. Pilkada yang hanya memunculkan satu calon bisa dikatakan sebagai sebuah kegagalan bagi partai politik dalam melahirkan bibit-bibit pemimpin.

Bukan hanya itu saja, pilkada dengan skenario kotak kosong bukannya melahirkan pejuang politik, akan tetapi justru hanya akan melahirkan pengusaha-pengusaha politik. Yang dimaksud sebagai pengusaha politik adalah mereka yang membuat skenario kotak kosong yang tidak lagi berfokus pada kompetensi kandidat, akan tetapi pada kapital semata.

Di beberapa daerah, kita telah menyaksikan partai politik memiliki kader internal yang berkompetensi dan berkapasitas untuk diusung, namun tidak diberikan rekomendasi oleh partai sendiri dengan alasan realistis atau tidak ingin jadi penonton.

Fenomena seperti ini adalah bukti bahwa partai politik tidak percaya diri dengan kekuatan sendiri dan kesannya agak sedikit pragmatis, hanya mengejar kemenangan. Tentu sikap partai yang seperti ini justru akan mematikan potensi kader dan melahirkan mosi tidak percaya di kalangan kader.

Tidak sampai disitu saja, rancangan skenario kotak kosong telah memunculkan kosa kata baru pada kamus demokrasi kita. Begal parpol adalah istilah baru yang dipertontonkan kepada masyarakat. Masyarakat disuguhkan dengan fenomena perburuan rekomendasi partai politik yang tidak sedikit kemudian partai politik membelok atau mengalihkan dukungannya meski di tingkatan grass rote terjadi penolakan. Hal ini kemudian justru menampilkan politik dengan kerangka yang jauh dari etika dan moralitas.

Di satu sisi, pengalihan dukungan justru memperlihatkan bahwa sikap partai politik yang dinamis dan cair adalah indikasi ketidak-konsistenan partai dalam bersikap. Tidak terakomodirnya suara kader dari bawah menjadi pintu untuk lahirnya sebuah hipotesa bahwa bukan sesuatu yang tidak mungkin, kedepannya partai politik akan mengabaikan suara rakyat. Dan bukan sesuatu yang tidak mungkin pula bahwa partai akan inkonsistensi terhadap janji-janjinya.

Masyarakat yang tidak puas dengan adanya calon tunggal, kemudian diberikan pilihan untuk memilih kotak kosong bahkan bisa mengkampanyekan kotak kosong. Pada proses kampanye kotak kosong ini juga berpotensi terjadi black campaign, karena bisa dipastikan bahwa kekuatan-kekuatan kandidat yang batal maju akan bersatu pada kotak kosong ini.

Bukan itu saja, mengkampanyekan kotak kosong sama halnya dengan mengkampanyekan hal yang abstrak. Pasalnya, meski kotak kosong yang memenangkan kompetisi, tetap saja tidak bisa memberikan implikasi secara sosial selain terakomodirnya penolakan terhadap calon tunggal. Namun yang perlu kita catat bahwa kemenangan kotak kosong tidak menutup ruang bagi calon tunggal, karena pada pemilihan berikutnya sang kandidat tetap dapat ikut berkompetisi. Lantas kemenangan kotak kosong untuk siapa?

A. Achmad Fauzi Rafsanjani. Ketua Umum Rumpun Pemuda Wajo dan Peneliti di Intelegensia Institute. 


Posting Komentar

0 Komentar