Target Pajak Dalam RAPBN-P 2017 Menurun, Fuad Bawazier Ajukan 6 Saran

JAKARTA, ARUSMUDA.COM - Menanggapi turunnya target pencapaian pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara - Perubahan (RAPBN-P 2017), mantan Dirjen Pajak era presiden Soeharto, Dr. Fuad Bawazier, MA mengajukan enam saran.

Saran Fuad Bawazier beredar di beberapa group media sosial, terutama WhatsApp. Berikut selengkapnya saran menteri keuangan terakhir di era Soeharto ini.

1. Dalam RAPBN-P 2017 kembali pemerintah menurunkan target pencapaian (realisasi) pajak dengan lebih dari Rp. 50 T. Menilik pada pengalaman rata-rata 10 tahun terakhir ini biasanya RAPBN-P memang menurunkan target penerimaan pajak dari APBN aslinya dan celakanya realisasi akhirnya juga akan lebih turun lagi.

Ini kebalikan dari masa Orba ketika RAPBN-P-nya lebih tinggi dari target pajak dalam APBN aslinya dan realisasinya pun lebih tinggi lagi dari  RAPBN-P yang sudah dinaikkan itu. Ini bukan permainan target seperti yang sering dituduhkan bahwa target pajak dalam APBN semasa Orba dikecilkan, tetapi memang realisasi pajak dari tahun ke tahun saat itu meningkat sehingga tidak pernah menggunakan utang negara untuk menutup shortfall pajak. Utang negara hanya untuk membiayai pembiayaan proyek dan program.

2. Kegagalan dalam merealisasikan target pajak yang berturut-turut ini bukan saja mengurangi kredibilitas keuangan negara tetapi juga menambah utang negara untuk menutup defisit APBN yang membesar, bukan untuk proyek baru. Meskipun rasio utang negara terhadap PDB masih di bawah 30% (dari batas maksimal 60%), tetapi bila dilihat dari kekuatan likuiditas atau rasionya terhadap APBN, yaitu kewajiban pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya sudah cukup memprihatinkan.

Utang negara yg akan jatuh tempo sampai dengan 2019 Rp. 780 T. Total utang Pemerintah Rp. 3.672 T atau setara USD 275 Miliar yang terdiri dari utang dalam bentuk SBN Rp. 2.944 T dan pinjaman multilateral-bilateral Rp. 728 T.

Terjadinya defisit keseimbangan primer APBN yg terus menerus menunjukkan bahwa Pemerintah tidak semata-mata gali lobang tutup lobang tetapi memang menggali lobang yang lebih besar sebab sebagian utang baru itu di gunakan untuk membayar bunga utang lama (tidak sekedar untuk membayar utang lama yang jatuh tempo).

3. Sementara itu Pemerintah harus terus melanjutkan pembangunan infrastruktur yang memang sudah amat tertinggal yang mengakibatkan Indonesia selalu kalah bersaing akibat high cost economy. Dengan kata lain, sementara pengeluaran untuk belanja negara terus meningkat tetapi penerimaan pajak negara justru cenderung menurun.

Untuk meningkatkan penerimaan negara sekarang ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak sepantasnya lagi mengulangi "nyanyian" yang sama seperti waktu beliau menjabat Menkeu periode SBY, yaitu Reformasi Administrasi Pajak sebab sudah terbukti gagal.

Sekedar mengingatkan bahwa pada waktu yang lalu Sri Mulyani dengan anggaran bertriliun rupiah dari utang Bank Dunia sudah melaksanakan berbagai reformasi di Ditjen Pajak termasuk meningkatkan take home pay, reorganisasi, konsultan internasional dll.

Hasilnya justru tax ratio turun, penerimaan pajak melemah, perkara dan tunggakan pajak meningkat tajam, kasus kasus korupsi pajak semakin menonjol dan restitusi pajak tetap saja bermasalah.

Pemerintah Indonesia juga jangan terlalu berharap banyak thdp AEOI (pertukaran data keuangan-perbankan) dengan pihak Singapore mengingat ketatnya syarat dan kondisi yang blm tentu dapat dipenuhi pihak Indonesia dlm waktu dekat ini, serta adanya kepentingan yg berbeda.

Belum lagi faktor peluang WP yang dengan mudah bisa mengalihkan data keuangannya ke negara lain yang tidak terikat dengan kesepakatan AEOI maupun dengan cara membungkus perusahaannya seolah-olah milik asing (bukan WNI).

Pemerintah juga tidak perlu mengambil langkah langkah yg menakutkan WP atau yang bernada mengancam WP, karena ditengah bisnis yang sedang lesu kebijakan yang tidak bisnis friendly cenderung  merugikan perekonomian.

4. Terobosan yang harus dipertimbangkan Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah :
4.1. Merealisasikan sesegera mungkin pembentukan Badan Penerimaan Negara sebagaimana yang telah diajukan Presiden ke DPR.
4.2. Tax ratio yang sekarang baru 10,3% harus bisa ditingkatkan minimal menjadi 14% PDB dalam 2-3 tahun ini. Dengan PDB yg mendekati Rp. 14.000 T, peningkatan per 1% berarti Rp. 140 T.
4.3. Peningkatan realisasi pajak dilakukan dengan penyederhanaan pemungutan pajak,  satu dan lain hal untum mengurangi perkara perkara pajak, dan restitusi pajak yang rentan penyelewengan.

Pemungutan pajak yang sederhana selain lebih mudah, murah dan praktis pelaksanaannya, juga memberikan kepastian kepada WP.

Contohnya adalah setiap penghasilan bunga dari bank dikenakan PPh Final 20%, suatu jumlah/tarif pajak yang sebenarnya amat tinggi tetapi karena praktis dan pasti, tidak ada WP yang protes dan aparat pajak juga tidak repot (zero cost of collection) karena pemungutannya dilaksanakan oleh perbankan.

Contoh lain adalah pemungutan PPh Final atas transaksi jual beli saham di BEI yg dikenakan 0,1% yang pelaksanaannya oleh PT BEI sehingga praktis aparat pajak tidak perlu mengeluarkan tenaga maupun biaya.

5. Pembentukan Badan Penerimaan Pajak yang langsung berada di bawah Presiden juga sebagai penegasan prinsip akuntabilitas, yakni pemisahan pengelola penerimaan negara dari pengelola pengeluaran negara.

6. Penyederhanaan pajak oleh Badan ini juga termasuk mengkaji perubahan PPN dan PPn BM (Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah) yang meski sudah diberlakukan sejak 1985 tetap saja merepotkan baik WP maupun aparat pajak sebab perhitungan dan pengadministrasian pajak keluaran dan pajak masukan yang kompleks.

Demikian saran dan masukan tentang peningkatan penerimaan pajak negara.
Terima kasih.

Jakarta, 15 Juli 2017.

Posting Komentar

0 Komentar