Kepalan Tangan Di Poros Galesong Raya

REFLEKSI, ARUSMUDA.COM Gerah dengan lalu lalang kapal aneh dan diduga menambang pasir di perairan Galesong, organisasi masyarakat sipil FIK-KSM Takalar dan Forum Masyarakat Nelayan Galesong Raya (Formasi Negara) menggelar dialog publik, (08/05). Walhi Sulawesi Selatan dan LSM Blue Forests mengutus perwakilannya sebagai pemerkaya informasi bagi seratusan peserta yang terdiri warga dari Galesong Raya, komunitas nelayan, pedagang, papalele-sawi, aktivis LSM Takalar hingga kelompok perempuan. Saya didapuk sebagai pemandu jalannnya dialog. 

Meski di spanduk bertuliskan nama Bupati Takalar namun, panitia tak peroleh update ihwal kehadiran jelang pembukaan dialog bertema ‘Reklamasi Kotanya, Sedot Pasir Lautku’. Walhi Sulsel diwakili Muhammad Al-Amin sementara Blue Forests diwakili Yusran Nurdin Massa. Keduanya dikenal sebagai bagian dari aliansi organisasi masyarakat sipil tolak reklamasi Makassar. Begitulah. Ada paparan tentang proses rencana pertambangan pasir di Galesong Raya, meliputi Kecamatan Gaesong Utara, Galesong hingga Galesong Selatan. 

Menurut Yusran, pasir yang dibutuhkan sekitar 22 juta kubik dan akan diambil di laut Galesong. Ada perusahaan asal Belanda bernama Boskalis International yang akan memboyongnya ke Makassar. Terkuak bahwa telah ada 4-6 perusahaan yang telah mengajukan izin prinsip pertambangan pasir. “Satu perusahaan mengantongi izin tambang pasir hingga 1.000 km2,” katanya. Sebagai tambahan informasi, lahan konsesi yang sudah terbit izinnya mencapai 8.781 ha. 

“Isu pertambangan pasir ini bukan hanya di Galesong tetapi juga di tempat lain seperti Banten. Di Benoa-Bali, reklamasi Benoa mengambil pasir di Lombok namun juga ditentang oleh warga,” tambah Yusran. Khusus untuk Banten, lebih 35 juta kubik yang ditambang untuk kepentingan reklamasi Jakarta namun belakangan sudah dihentikan pula. Menurut Yusran, untuk Sulawesi Selatan harusnya dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jadi rujukan dalam memberi izin ini, sayangnya, untuk Sulawesi Selatan, RZWP3K belum kelar. Yusran menduga besarnya volume pasir yang direncanakan ditambang bukan hanya untuk Center Point of Indonesia (CPI) sebagaimana disebutkan selama ini. Yusran menyebutkan betapa rentannya kawasan Galesong Raya karena hanya ada satu pulau pelindung yaitu Sanrobengi, beda dengan Makassar. Sebagaimana Yusran, peserta juga menyayangkan kenapa di laut Galesong Raya yang selama ini telah digempur gelombang dan abrasi hebat. 

Al Amin dari Walhi Sulawesi Selatan bahwa rencana pengambilan pasir di laut Galesong Raya untuk dibawa ke Makassar, membutuhkan antisipasi semua pihak, terutama masyarakat nelayan yang akan terdampak. Laporan yang diperoleh FIK-KSM menyebutkan bahwa izin prinsip pertambangan pasir di laut Galesong Raya telah dikeluarkan sejak tahun 2014. Izin prinsip terbaru yang sempat diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Takalar adalah pada bulan Mei 2016. 

“Menurut hasil pengamatan kami, aktivitas penambangan pasir ini telah berlangsung lama di sekitar wilayah laut Mangindara. Ada nelayan yang melihat kapal-kapal di sana,” kata Daeng Muntu, aktivis nelayan di Dusun Bayowa, Galesong saat menanggapi paparan Yusran. 

“Sebagai generasi muda, kami menolak pertambangan pasir ini karena merusak ekosistem laut. Nelayan-nelayan Galesong semakin jauh mencari ikan,” tegas Rifandy dari Dusun Jempang. Ada lima alasan yang disebutkannya termasuk adanya ancaman abrasi bagi Pulau Sanrobengi dan semakin jauhnya nelayan Galesong mencari ikan karena laut sudah teraduk, ikan-ikan akan menjauh. Penolakan juga disampaikan oleh Laulalang (saya memanggilnya pak Camat) dan ustadz Jamaluddin Ago. Keduanya menuntut adanya tindakan tegas karena merasa ada prosedur yang telah dilanggar dan berdampak buruk bagi kawasan pesisir dan laut Galesong. 

Meski dihadiri oleh dua anggota DPRD Takalar dari Partai PKS yaitu Sulaiman Rate dan Hairil Anwar namun ada anggapan bahwa langgengnya rencana pertambangan pasir ini karena tidak maksimalnya peran DPRD dalam memintai pertanggungjawaban eksekutif. Kasmajaya Daeng Nappa, warga Pa’la’lakkang menganggap adanya kegagalan anggota wakil rakyat Galesong Raya yang duduk di DPRD. Menurutnya anggota DPRD asal Dapil Galesong harusnya bisa memperjuangkan penolakan ini. Hairil yang merupakan anggota legislatif asal PKS Dapil Galesong ikut berdiri. Dengan tegas dia menyatakan siap menjadi bagian dari upaya penolakan ini. 

“Saya siap memberi dukungan!” katanya disambut tepuk tangan. Suasana berlangsung gaduh karena sebagian besar pembicara berharap ada langkah tegas yang disepakati di forum ini. “Saya khawatir kita diskusi dan dialog terus sementara pasir sudah ditambang,” kata Daeng Muntu yang mengaku melakukan observasi dan wawancara terkait pertambangan pasir di sekitar Desa Mangindara, Galesong Selatan. 

Di ujung acara, untuk mengefektifkan langkah advokasi terkait pertambangan pasir ini, para peserta memberikan mandat kepada FIK-KSM dan Formasi Negara untuk menyusun langkah-langkah pasca dialog ini. Jelang pukul 18.00 wita, acara ditutup dan hasil dialog diserahkan kepada panitia. 

Di poros Jalan Raya Barombong – Galesong, depan Warkop Kopi Tua, suasana terlihat riuh dan macet, beberapa pemuda, berteriak, mengepal tangan, mempertontonkan kain putih berisi petisi penolakan. Beberapa peserta mengacungkan tangan, mengepalkan tangan ingin bicara namun waktu magrib telah tiba. Bagi saya, dialog ini, merupakan salah satu cara mengedukasi warga tentang pentingnya partisipasi warga dalam pembangunan daerah, pentingnya mendengar aspirasi mereka ketimbang pihak luar apalagi demi keuntungan ekonomi sepihak semata. 

Kepentingan sosial dan lingkungan merupakan dua alas yang tak bisa dicampakkan begitu saja. Malam mengepung Galesong Raya, para peserta pulang dengan perasaan berkecamuk di kepala. 

Daeng Nuntung - Gowa, 09/05.

Posting Komentar

0 Komentar