Cerpen: Adikku Daéng Sérang

CERPEN, ARUSMUDA.COM - Dia masih menggenggam tanganku, mungkin sudah semenit, kami cuma berdiri dan saling menatap. Tangannya hangat, pengaruh demam yang menderanya sejak kemarin. Sebelah tangannya beranjak menepuk pundakku, pelan, kulihat senyum membayang di mukanya yang pucat. Tak ada tanda bahwa dia akan segera melerai tangan kami yang saling berjabat.

Tiga bulan sejak ditandatanganinya Perjanjian Bungaya, ini kali pertama aku menemuinya, bertatap muka dengan dia yang telah kuanggap sebagai saudara. Hari ini, 17 Februari 1668, ramadan memasuki hari ketiga, kutemui dia pada salah satu bilik di Benteng Somba Opu, istana kebesarannya. Aku merasa, ini saat yang tepat untuk saling mengikhlaskan apa yang telah terjadi di antara kami.

Tanganku masih digenggamnya, dia menuntunku pelan menuju kursi di sisi tilamnya yang berlapis beledu hijau tosca. Begitu aku duduk, tanganku dilepas, dia memilih duduk di tepi ranjang menghadap ke arahku.
“Engkau baik-baik saja, adikku Daéng Sérang?” Dia melontar tanya dengan suara bergetar. Dadaku ikut bergetar dibelasah rawan hati, dia menyebut pa’daéngangku. Sudah berbilang tahun –sejak aku memimpin pelarian budak pada 1660, nama itu tak pernah mampir di telingaku.
“Mengapa baru menemuiku sekarang, tidakkah Engkau rindu dengan kakakmu ini?” Tak ada kata-kata yang bisa kuucap, mataku basah, dia pun begitu. Seperti ada yang mengaduk keharuan di sini.

Kami masih terdiam dan terus bersitatap dengan beragam rasa yang berkecamuk di dada. Aku tak berani dan merasa tak mampu menjawab lontaran tanya dari dia yang tak pernah menganggapku orang lain, bahkan sejak pertama aku menginjakkan kaki di istananya, sebagai seorang tawanan. Kutatap lekat dirinya. Dia tetaplah daéngku, I Mallombassi Daéng Mattawang.
*     *     *

Akhir 1653, jelang pengukuhannya sebagai Raja Gowa ke-XVI, Daéng Mattawang mengunjungi Karaéng Pattingalloang di ruang kerjanya. Sebagai seorang tawanan dari negeri jajahan, Daéng Sérang memilih keluar bilik setelah menyiapkan segala kebutuhan tuannya. Tak elok baginya mencampuri pertemuan sang calon raja dengan mangkubumi kerajaan.

Mengisi waktu, Daéng Sérang mengeluarkan sulingnya, bangsi dari Toraja itu adalah hadiah dari tuannya. Karaéng Pattingalloang sering memintanya memainkan seruling di kala suntuk. Daéng Sérang larut dalam liukan nada, matanya terpejam begitu khusyuk. Kélong mangkasara’ bernada sendu mengalun perlahan

Tak ia sadari, seorang pelayan putri berdiri di sudut ruang tamu, menunggu Daéng Sérang mengakhiri tiupannya. Begitu permainan sulingnya berakhir dan dia menyadari kehadiran si pelayan, Daéng Sérang terperanjat, melompat menjaga jarak lalu menunjukkan sikap hormat. Adalah aib berdekatan dengan perempuan yang bukan keluarga, meski hanya seorang pelayan, apalagi di istana.
“Ada apa? Sejak kapan kau ada di situ? Kau membuatku kaget.”
“Maaf, aku hanya menyampaikan hadiah dari tuanku, Daéng Sangnging.” Jelas pelayan itu tak kalah hormat, kepalanya tertunduk.
“Ini, semoga Daéng sudi menerimanya.” Diletakkannya sehelai saputangan putih di lantai papan tak jauh dari tempatnya berdiri, setelah itu dia beranjak.

Daéng Sérang sesaat tercekat, bukankah I Maming Daéng Sangnging adalah tunangan Daéng Mattawang? Lalu apa maksud semua ini? Dengan pikiran bercabang, dia menjangkau saputangan yang pada salah satu sudutnya terdapat sulaman setangkai bunga Ros berwarna merah cerah dilingkupi sehelai daun lancip berwarna hijau tua. Dari sana menguar adalah aroma Melati yang lembut.

Daéng Sérang tidak menyadari hadirnya sepasang mata yang sedari tadi menatapnya dengan saksama dari balik pintu penghubung ruang depan dan ruang tengah Istana. Sepasang mata itu berbinar indah beberapa jenak, mengalahkan cahaya pelita. Tapi tak lama, pandangan itu memburam karena genangan air mata yang tak kuasa dibendung.

Daéng Sérang terus saja melilitkan saputangan itu ke pangkal bangsi, sudut yang berhias bunga Ros dibiarkan menjuntai. Dia sedang menyembunyikan seruling itu ke pinggang –di balik lilitan lipa’ garusu’-nya, ketika dia tersadar kalau Daéng Mattawang sudah mulai menuruni tangga depan istana Karaéng Pattingalloang. Menyadarinya dirinya disusul, Daéng Mattawang sengaja memperlambat langkahnya.

Daéng Sérang bergegas menyusul berdiri di sisi sahabatnya lalu berujar pelan.
“Tabé’ Daéngku, eh Karaéng, semoga di tangan Karaéng, harga diri kami orang Bone bisa lebih dihormati.” Suara Daéng Sérang terdengar bergetar, sambil menjabat erat tangan sahabatnya untuk yang terakhir kalinya. Dia sadar, setelah dikukuhkan, akan ada jarak yang membentang di antara mereka.
“Adikku Daéng Sérang, sekali kau menjadi adikku, selamanya akan begitu, meski apapun yang akan Adikku lakukan pada Daéngmu ini kelak....” Daéng Mattawang merengkuh Daéng Sérang ke dalam dekapan, matanya berkaca-kaca, rahangnya mengeras seperti menahan getir.

Perlahan Daéng Mattawang melepas pelukannya, melanjutkan langkah menyusuri anak tangga, menjemput kudanya yang sudah siap di depan tangga. Lalu dipacunya dengan kencang, tak menoleh lagi ke belakang barang sekejap. Daéng Sérang terpaku menatap punggung sahabatnya sejak menuruni sisa anak tangga sampai ekor kudanya sudah tak nampak di ujung jalan.

Cukup lama Daéng Sérang tak beranjak, seperti ada yang membuncah di dadanya, pesan yang disampaikan Daéng Mattawang membuatnya tak nyaman, ada yang mengorek lukanya dan menyiramnya dengan air cuka. Sesekali tangan kirinya mengelus rambut panjang berombaknya, sementara tangan kanannya dibiarkan bertumpu di pegangan tangga.
*     *     *

“Adikku Daéng Sérang.....” Dia mencoba menghalau sunyi. Aku yang duduk di depannya menatap hampa, terjebak pada belitan masa lalu dan pilinan impian masa depan.
“Adikku Daéng Sérang....!” Kembali dia menyapa, tangannya menyentuh lututku dan menggoyang-goyangnya. Aku tergeragap.
“Daéngku, adikmu ini datang hendak menghaturkan ma...”
“Jangan kau ucap kata itu.” Ucapanku terpotong.
“Meski diriku, penghuni istana ini, dan rakyat Gowa keseluruhan, sangat kecewa dengan tingkahmu, haram kau ucapkan kata itu!” Lanjutnya.
“Daéngku.....” Hanya itu yang bisa kuucapkan.
“Apa daya kita, kau membawa mereka, Belanda kafir itu, membakar rumah dan menghancurkan negeri yang membesarkanmu. Kau mengajak orang lain ikut campur dalam urusan keluarga kita.” Panjang dia ulas warita hubungan Gowa dan Bone yang penuh dinamika perang dan damai.

“Tapi memang tak ada yang kebetulan, demikian agama kita mengajarkan. Pintaku, jadilah lebih bijaksana, Adikku.” Selepas itu, dia tertunduk dalam, menyembunyikan pilu yang membuncah, aku pun sama.
“Daéngku, aku tak tahu mau bilang apalagi. Tapi bagiku, persoalan di antara kita sudah selesai. Bone dan Soppeng sudah merdeka, maka statusnya kembali sama dengan Gowa.” Sahutku ringkas.

“Terima kasih atas kesediaan Daéngku menerima kunjunganku, semoga ke depan kehidupan kita menjadi lebih baik.” Kujabat tangannya, kulihat senyum terukir di sudut bibirnya, meski sayu.

Kasman McTutu. Cerpen ini dimuat di Harian Fajar Edisi Ahad, 02 April 2017.

Posting Komentar

0 Komentar